Minggu, 18 November 2012

contoh laporan geografi budaya


Tugas Individu

LAPORAN PRAKTEK GEOGRAFI BUDAYA
DI KABUPATEN TORAJA UTARA



Oleh :
SURIANTI TIMANG
101504036


JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2012


KATA PENGANTAR
Segalah  puji dan syukur ucapkan penyusun panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segalah kasih dan karunianya sehingga laporan praktek lapang Oseanografi dapat terselesaikan dengan baik.
Melalui kesempatan ini, penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua teman-teman yang telah banyak membantu penyusun hingga selesainya laporan praktek  lapang Oseanografi ini. Begitu pula kepada dosen penanggung jawab, dosen coordinator dan asisten.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan kata-kata atau penggunaan bahasa maupun penyajian materi.
Oleh karena itu, dari penyusun mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari para pembaca demi kesempurnaan penyusunan laporan selanjutnya sehingga laporan ini bermanfaat bagi kita semua.


                                                            Makassar,     Oktober 2012

Penyusun






DAFTAR ISI
SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I    PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.     Waktu dan Tempat
D. Tujuan Praktek
E.    Kegunaan Praktek
BAB II PEMBAHASAN
A.    Sejarah dan Asal Mula Masyarakat Toraja
1.      Sejarah Toraja
2.      Asal mula masyarakat Toraja
3.      Sejarah Aluk
B.     Letak Geografis dan Administratif Kab.Toraja Utara
C.     Gambaran Umum Toraja Utara
1.      Jumlah penduduk
2.      Uoacara adat Tana Toraja
i.                    Rambu tuka’
ii.                  Rambu solo’
3.      Objek wisata di Toraja Utara
i.                    Pasar hewan Bolu
ii.                  Wisata Tongkonan di Palawa’
iii.                Panorama alam di Batutumonga
iv.                Liang pa’a di Deri’
v.                  Kalimbuang di Bori’
vi.                Toko kerajinan di Rantepao
vii.              Ke’te’ Kesu’
viii.            Londa
ix.                Bamba Puang
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB  I
PENDAHULUAN

A.     Latar  Belakang
Kebudayaan merupakan hasil budidaya manusia yang selalu tumbuh dan berkembang. Kebudayaan sudah sejak lama menjadi salah satu garapan dan pembangunan nasional. Budaya merupakan salah satu bagian aset kepariwisataan yang memiliki corak beraneka ragam di bumi nusantara ini.
Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki  kekayaan alam yang melimpah dengan berbagai macam kebudayaan, adat, serta agama, tidak terkecuali di Toraja yang tentunya dapat dimanfaatkan dalam bidang kepariwisataan, sebagai sektor komoditi yang sangat baik bagi perekonomian dan sebagai Daerah Tujuan Wisata terfavorit ke-2 kedua setelah Bali.
Suku  Toraja  adalah  suku  yang  menetap  di  pegunungan  bagian  utara Sulawesi  Selatan,  Indonesia.  Populasinya  diperkirakan  sekitar  600.000  jiwa. Mereka  juga  menetap  di  sebagian  dataran  Luwu  dan  Sulawesi  Barat.

Gambar 1.1 Peta topografi Kab.Tana Toraja dan Toraja Utara
Nama  Toraja  mulanya diberikan  oleh  suku Bugis  Sidenreng  dan  dari Luwu.  Orang  Sidenreng  menamakan  penduduk  daerah  ini  dengan  sebutan  To Riaja  yang  mengandung  arti  "Orang  yang  berdiam  di  negeri  atas  atau  pegunungan",  sedang  orang  Luwu  menyebutnya  To  Riajang  yang  artinya  adalah "orang  yang  berdiam  di  sebelah  barat".  Ada  juga  versi  lain  bahwa  kata  Toraya asal  To  =  Tau  (orang),  Raya  =  dari  kata  Maraya  (besar),  artinya  orang -orang besar,  bangsawan. Lama-kelamaan  penyebutan  tersebut  menjadi  Toraja,  dan  kata Tana  berarti  negeri,  sehingga  tempat  pemukiman  suku  Toraja  dikenal  kemudian dengan  Tana  Toraja.
B.     Rumusan  Masalah
Berdasarkan  uraian  tersebut,  maka  penulis  merumuskan masalah  pada   budaya Toraja, asal mula masyarakat Toraja, dan khususnya menceritakan tentang beberapa wisata yang ada di Toraja, seperti: Pasar Hewan yang ada di Bolu, Wisata tongkonan pertama di Palawa’, pemandangan alam di Batutumonga, beberapa kuburan batu yang ada di Deri’, Wisata Kalimbuang di Bori’, toko souvenir di Rantepao, Ke’te’ Kesu’, Londa, dan yang terakhir Buntu Kabobong / Gunung Nona yang ada di Enrekang.
C.    Waktu dan Tempat
Praktek lapang dilakukan pada:
Waktu          : Jumat, 5 oktober 2012 – Sabtu, 6 oktober 2012
Tempat         : Þ   Pasar Hewan yang ada di Bolu
Þ     Wisata tongkonan pertama di Palawa’
Þ      pemandangan alam di Batutumonga, Liang Pa’a di Deri’
Þ     Wisata Kalimbuang di Bori’
Þ     toko kerajinan di Rantepao
Þ     Ke’te’ Kesu’
Þ     Londa
Þ     Buntu Kabobong / Gunung Nona yang ada di Enrekang.

D.    Tujuan  Laporan
Adapun tujuan dari praktek ini, yaitu:
1.   Memeberikan pengetahuan kepada mahasiswa dalam memahami karakteristik budaya Toraja.
2.   Memeberikan keterampilan kepada mahasiswa dalam mendeskripsikan tentang beberapa wisata yang ada di Toraja.

E.     Kegunaan Praktek
Adapun kegunaan dari praktek ini, yaitu:
1.   Meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam penguasaan bidang Geografi Budaya baik secara teori maupun praktek di lapangan.
2.   Data yang dihasilkan dapat menjadi data dasar, bahan informasi dan referensi bagi pihak-pihak terkait yang membutuhkan data dan informasi tersebut.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah dan Asal Mula Masyarakat Toraja 
      1.       Sejarah Toraja
                    i.      Tahun 1926 Tana Toraja sebagai Onder Afdeeling Makale-Rantepao dibawah Self bestur Luwu.
                  ii.      Tahun 1946 Tana Toraja terpisah menjadi Swaraja yang berdiri sendiri berdasarkan Besluit Lanschap Nomor 105 tanggal 8 Oktober 1946
                iii.      Tahun 1957 berubah menjadi Kabupaten Dati II Tana Toraja berdasarklan UU Darurat Nomor 3 Tahun 1957.
                iv.      UU Nomor 22 Tahun 1999 Kabupaten Dati II Tana Toraja berubah menjadi Kabupaten Tana Toraja
                  v.      21 Juli 2008 mengalami pemekaran, sehingga Toraja bagian utara menjadi Kabupaten Toraja Utara yang beribukota Rantepao, sedangkan Toraja bagian selatan tetap menjadi Kabupaten Tana Toraja yang beribukota Makale. 
      2.      Asal mula masyarakat Toraja
Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan "tangga dari langit" untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebuatn To Riaja yang mengandung arti "Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan", sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah "orang yang berdiam di sebelah barat". Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja. 
3      Sejarah Aluk
Konon manusia yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua.
Cerita tentang perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni: Tipamulanna Aluk ditampa dao langi' yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme' di kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi' dirura.Kedua tahapan ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo Cina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.
Beberapa Tokoh penting dalam penyebaran aluk, antara lain:
                    i.      Tomanurun Tambora Langi' adalah pembawa aluk Sabda Saratu' yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.
                  ii.      Selain daripada itu terdapat Aluk Sanda Pitunna disebarluaskan oleh tiga tokoh, yaitu :
a.    Pongkapadang bersama Burake Tattiu' menuju bagian barat Tana Toraja yakni ke Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, derngan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja "To Unnirui' suke pa'pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata.
b.   Kemudian Pasontik bersama Burake Tambolang menuju ke daerah-daerahsebelah timur Tana Toraja, yaitu daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta'bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : "To Unnirui' suku dibonga, To unkandei kandean pindan", yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.
c.    Tangdilino bersama Burake Tangngana ke daerah bagian tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial "To unniru'i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan", Tangdilino diketahui menikah dua kali, yaitu dengan Buen Manik, perkawinan ini membuahkan delapan anak. Perkawinan Tangdilino dengan Salle Bi'ti dari Makale membuahkan seorang anak. Kesembilan anak Tangdilino tersebar keberbagai daerah, yaitu Pabane menuju Kesu', Parange menuju Buntao', Pasontik ke Pantilang, Pote'Malla ke Rongkong (Luwu), Bobolangi menuju Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, Bue ke daerah Duri, Bangkudu Ma'dandan ke Bala (Mangkendek), Sirrang ke Dangle.
Itulah yang membuat seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo arti harfiahnya adalah "Negri yang bulat seperti bulan dan Matahari". Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.
Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat tersebut.

B.     Letak Geografis dan Administratif Kab.Toraja Utara
Kabupaten Toraja secara geografis terletak antara 2°40'LS−3°25'LS dan 119°30'BT−120°25'BT.
Batas wilayah Toraja Utara antara lain:
1.         Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu Utara dan Provinsi Sulawesi Barat (Kabupaten Mamuju).
2.         Sebelah Timur berbatasan dengan kota Palopo dan Kabupaten Luwu.
3.         Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja.
4.         Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja dan Provinsi Sulawesi Barat.
Kabupaten Toraja yang beribukota di Rantepao memiliki luas wilayah 1.151,47 .
Gambar 2.2.1 “Peta daerah Kab. Tana Toraja dan Toraja Utara”
Kabupaten Toraja Utara dilewati oleh salah satu sungai terpanjang yang terdapat di Propinsi Sulawesi Selatan, yaitu sungai Sa’dan. Jarak ibukota Kabupaten Toraja Utara dengan ibukota Propinsi Sulawesi Selatan mencapai ±350km, dengan  rute: kabupaten Tana Toraja → Kabupaten Enrekang → Kabupaten Sidrap → Kota Pare- Pare → Kabupaten Barru → Kabupaten Pangkep → Kabupaten Maros → Kota Makassar.

C.    Gambaran Umum Toraja Utara
1.      Jumlah Penduduk
Penduduk Kabupaten Toraja Utara berdasarkan hasil sensus penduduk  akhir tahun 2009 berjumlah 229.090 jiwa yang tersebar di 21 Kecamatan, dengan jumlah penduduk terbesar yakni 25.805 jiwa mendiami Kecamatan Rantepao. Secara keseluruhan, jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari penduduk yang berjenis kelamin perempuan, yang masing-masing 119.620 jiwa penduduk laki-laki dan 109.470 jiwa penduduk perempuan. Hal ini juga tercermin pada angka rasio jenis kelamin yang lebih besar dari 100, yaitu 109%, ini berarti, dari setiap 100 orang perempuan terdapat 109 laki-laki. Laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Toraja Utara pada tahun 2009 dibandingkan dengan tahun 2008 mencapai 1,15% persen Kepadatan penduduk di Kabupaten Toraja Utara pada tahun 2009 telah mencapai 199 jiwa/km².
2.   Upacara Adat Tana Toraja
Di wilayah Toraja terdapat upacara adat yang terkenal dan tidak ada duanya di dunia, yaitu upacara adat Rambu Solo' (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu', juga acara upacara Ma'nene'. Dan Upacara Adat Rambu Tuka.
Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka' maupun Rambu Solo' diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya.
i.        Rambu tuka’
Upacara adat Rambu Tuka' adalah acara yang berhungan dengan acara syukuran. Misalnya acara pernikahan, syukuran panen, dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan di Toraja sangat kuat. Semua upacara tersebut dikenal dengan nama Ma'Bua', Merok, atau Mangrara Banua/Sura'
Untuk upacara adat Rambu Tuka' diikuti oleh seni tari: Pa' Gellu, Pa' Boneballa, Gellu Tungga', Ondo Samalele, Pa'Dao Bulan, Pa'Burake, Memanna, Maluya, Pa'Tirra', Panimbong dan lain-lain.
Gambar 2.3.2.1. “ pa’gellu’ “
Untuk seni musik yaitu Pa'pompang, Pa'barrung, Pa'pelle'. Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo' tidak boleh (tabu ditampilkan pada upacara Rambu Tuka'.
ii.      Rambu solo’  (Upacara Pemakaman)
Gambar 2.3.2.2. “pesta kematian”
Adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja secara turun temurun ini, mewajibkan keluarga yang ditinggal membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.
Namun dalam Pelaksanaannya, upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:
a.    Dipasang Bongi: Upacara yang hanya diiaksanakan dalam satu malam.
b.   Dipatallung Bongi: Upacara yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah dan ada pemotongan hewan.
c.    Dipalimang Bongi: Upacara pemakamanyang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah serta pemotongan hewan.
d.   Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang setiap harinya ada pemotongan hewan.
Biasanya pada upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentan waktu sekurang kurangnya setahun. Upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah "lapangan Khusus" karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma'tundan, Mebalun (membungkus jenazah), Ma'roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma'Parokko Alang (menurunkan jenazah kelumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma'Palao (yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).
Tidak hanya ritual adat yang dapat dijumpai dalam Upacara Rambu solo, berbagai kegiatan budaya yang begitu menariknya dapat dipertontonkan dalam upacara ini, antara lain :
a.    Mapasilaga tedong (Adu kerbau), perlu diketahui bahwa kerbau di Tana Toraja memiliki ciri yang mungkin tidak dapat ditemui didaerah lain, mulai yang memiliki tanduk bengkok kebawah sampai dengan kerbau berkulit belang (tedang bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan juta;
b.   Sisemba (Adu kaki). Biasanya diadakan sehabis panen.
c.    Tari tarian yang berkaitan dengan rambu solo’: Pa'Badong, Pa'Dondi, Pa'Randing, Pa'Katia, Pa'papanggan, Passailo dan Pa'pasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa'pompang, Pa'dali-dali dan Unnosong.; Ma'tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Menjelang usainya Upacara Rambu Solo', keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan selesainya upacara pemakaman Rambu Solo'.
3.      Obyek Wisata di Toraja Utara
Terdapat banyak objek dan daya tarik wisata di Toraja Utara. Objek dan daya tarik wisata ini terbagi dalam beberapa jenis objek wisata seperti wisata budaya, wisata sejarah, wisata alam dan lingkungan, wisata agro, dan lain-lain. Setiap titik tujuan objek wisata tersebut masing-masing memiliki daya tarik.
Klasifikasi objek wisata di kabupaten toraja utara sebagai berikut :
i.     Objek wisata budaya
a.    Tongkonan                    : rumah / perkampungan tradisional toraja.
b.   Rante                            : lapangan tempat upacara / pemakaman.
c.    Simbuang/menhir          : batu tempat penambatan kerbau dirante.
d.   Liang lo’ko’                  : kuburan dalam gua alam.
e.    Erong                            : kuburan kuno dalam kayu dekoratif.
f.    Liang pa’a                     : kuburan batu pahat.
g.   Patane                           : kuburan berbentuk bangunan rumah.
                       i.      Liang pia/ passiliran      : kuburan bayi yang belum tumbuh gigi, pada pohon
yang tumbuh.
h.   Tau-tau                         : patung orang meninggal di pekuburan.
i.     Perajin tenun dan pahat
j.      Museum
ii.   Objek wisata agrowisata
iii. Objek wisata kolam alam
iv. Objek wisata panorama alam / air terjun
Tabel  Nama-nama objek wisata di Kabupaten Toraja Utara
No
Nama Objek
Daya tarik wista utama
Keterangan Jenis Objek
Lokasi
1.
Londa
Liang lo’ko’, Erong, Tau-tau, Kuburan Gantung .
Wisata Sejarah
Londa
2.
Ke’te Kesu
Tongkonan,erong, patane, kuburan gantung,pengrajin/ukiran,museum, simbuang
Wisata sejarah dan wisata budaya
Ke’te’ Kesu
3.
Penanian Nanggala
Tongkonan dan persawahan,rante dan simbuang, patane dan kelelawar.
Wisata budaya
Nanggala
4.
Palawa’
Tongkonan, pengrajin tenun tradisional.
Wisata budaya
Palawa’
5.
To’ Barana’
Pusat pertenunan tradisional, panorama tepi sungai.
Wisata seni kerajinan
Sa’dan
6.
Siguntu’
Tongkonan, panorama.
Wisata budaya

7.
Marante
Tongkonan, Liang Paa’, erong, Tau-tau.
Wisata budaya
Bori’
8.
Patane  Pong masangka’
Patane, tau-tau dari batu.
Wisata sejarah
Pangli
9.
Bori’ kalimbuang
Rante (simbuang), menhir.
Wisata sejarah
Bori’
10
Pana’
Liang paa’
Wisata budaya

11
Batutumonga
Panorama indah, resort penginapan
Wisata alam & lingkungan
Batutumonga
12
Lo’ko’ mata
Liang paa’
Wisata budaya
Lempo
13
Buntu pune
Tongkonan, Liang paa, patane
Wisata budaya

14
Rante karassik
Rante, simbuang, arena adu kerbau
Wisata sejarah
Karassik
15
Pala’ tokke
Kuburan tergantung
Wisata sejarah

16
Tiroallo sesean ula’
Kuburan Marimbunna (Mitos)
Wisata sejarah
Sesean
17
Singki’ Tambolang
Panorama,kolam alam (tirta),liang paa
Wisata budaya
Gunung Singki’
18
Buntu Barana’
Benteng pertahanan, liang loko’, panorama
Wisata alam & lingkungan
Barana’
19
Matakanan
Sumber air panas
Wisata alam & lingkungan

20
Tanete
Tongkonan
Wisata budaya

21
Pangtimban
Erong, liang paa
Wisata budaya

22
Benteng batu
Benteng pertahanan pahlawan pongtiku
Wisata budaya
Pongtiku
23
Mamullu’
Panorama, benteng pertahanan
Wisata alam &lingkungan

24
Bate bambalu
Museum mini
Wisata sejarah

25
Galugu dua
Tongkonan, pertenunan tradisional
Wisata budaya
Sa’dan
26
Tongkonan unnoni
Pertenunan tradisional
Wisata seni kerajinan
Sa’dan
27
Lombok parinding
Liang lo’ko’ , erong
Wisata budaya
Parinding
28
Ta’pan langkan
Liang paa
Wisata budaya

29
Ranteallo
Tongkonan
Wisata budaya

30
Ba’kan ulu
Tongkonan, panorama & kolam alam(tirta)
Wisata budaya

31
Padamaran
Perkebunan Kopi Arabika & Pemrosesan Kopi, Hutan Wisata & Panorama
Wisata alam & lingkungan
Padamaran
32
Wisata agro ringgallo
Agro
Wisata agro
Rindingallo
33
Tunuan
Liang lo’ko’
Wisata budaya

34
Nanggala
Hutan wisata & panorama
Wisata alam & lingkungan
Nanggala
35
Randan batu
Kerajinan besi
Wisata seni kerajinan
Randan
36
Pasar hewan bolu
Pasar hewan (kerbau&babi), wisata agro
Wisata agro
Bolu
37
Lingka Seile Belo Raya
Banua tongkonan
Wisata budaya

38
Rantewai
Banua tongkonan
Wisata budaya

39
Kollo - kollo
Banua tongkonan
Wisata budaya
Kollo
40
Rante tendan
Rante tongkonan
Wisata budaya

41
Tondon
Liang Paa, Erong
Wisata budaya
Tondon
42
To’ tarra’
Gua alam, tempat perkebunan
Wisata budaya
Balusu
43
Bunian Bulawan
Liang Paa
Wisata budaya

44
To’ Sarira
Banua tongkonan
Wisata budaya

45
To’ Doyan
Liang paa
Wisata budaya

46
Buntu tondon
Liang paa
Wisata budaya
Tondon
47
Museum Landorundun
Banua tongkonan / museum
Wisata sejarah
Sa’dan
48
Maruang (Buntu Rongko)
Banua tongkonan
Wisata budaya

49
Kolam alam limbong
Kolam alam
Wisata alam & lingkungan
Singki’
50
Batukianak
Budaya, Pemandangan alam, Permandian alam
Wisata alam & lingkungan
Buntu lobo’
51
Panorama alam Ko’lan Go’yang
Kuburan tua / erong, menhir, tongkonan, panorama alam
Wisata budaya
Ulu salu
52
Ballo Pasenge’
Air terjun, pohon keramat, tongkonan
Wisata alam & lingkungan

53
massayo
Batu keramat
Wisata sejarah

54
Museum miniature ne’ Gandeng
Museum
Wisata sejarah
Malakiri
55
Dende’
Mummi
Wisata sejarah
Dende’
56
Butu susan
Trekking, pemandangan alam
Wisata alam & lingkungan

57
Tambolang
Kuburan alam, tongkonan
Wisata sejarah

58
Tongka’
Gua alam, sumur alam, tongkonan, rante, kuburan bayi, panorama, gua benteng, patung dan kuburan
Wisata sejarah
La’bo’
59
Rante kandeapi
Menhir, tongkonan
Wisata budaya
Kandeapi
60
Alla’ taluntun
Kuburan, gua alam
Wisata sejarah
sandanwai
Sumber : Skripsi Desy Bulawan Bonggasilomba Tahun 2011 hal. 57-61
Dari 60 objek wisata ini, yang akan diteliti hanya ada 9 objek wisata yaitu Pasar hewan di Bolu, Palawa’, Batutumonga, Deri’, Bori’ kalimbuang, toko kerajinan di Rantepao, ke’te’ Kesu’, Londa dan diluar Toraja seperti buntu Kabobong. Pemilihan objek wisata ini selain karena statusnya yang sudah berkembang,  objek wisata ini juga yang paling banyak dikunjungi dan juga pengelolaan objeknya sudah cukup baik.

              i.      Pasar hewan di Bolu
a.       Sejarah Singkat Pasar Hewan Bolu Kecamatan Tallunglipu Kabupaten Toraja Utara
Pasar hewan Bolu Kabupaten Toraja Utara merupakan salah satu pasar yang memiliki ciri khas tersendiri di kabupaten Toraja Utara. Pasar ini sejak zaman dahulu terus mengalami perkembangan seiring dengan meningkatnya kegiatan pemasaran dan perdagangan ternak.
Pasar ini, khususnya memperdagangkan atau memasarkan hewan ternak sehingga di kenal dengan nama pasar hewan bolu. Aktifitas pemasaran hewan ternak kerbau ini berlangsung selama lima kali dalam sebutan. Adapun beberapa jenis ternak atau hewan yang di pasarkan yaitu antara lain ternak kerbau lokal dan ternak kerbau asal daerah lain, serta ternak babi.
Saat ini keberadaan pasar hewan bukan hanya sebagai salah satu sumber pandapatan asli daerah yang bersumber dari pemungutan retribusi pasar, akan tetapi juga sebagai objek wisata bagi wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Hal ini tidak terlepas dari keunikan-keunikan yang terjadi dalam pemasaran ternak atau hewan yang sangat berbeda dengan pemasaran ternak atau hewan di daerah-daerah atau wilayah lain.
Gambar 2.3.3.1.1. “Aktivitas pasar hewan di Bolu”
Ternak kerbau merupakan salah satu ternak yang dominan di pasarkan di pasar hewan Bolu disebabkan karena ternak kerbau merupakan salah satu ternak yang memiliki arti ekonomis dan nilai sosial yang cukup tinggi karena dugunakan pada berbagai kegiatan budaya mauppun ritual keagamaan masyarakat Tana Toraja.
b.       Letak dan Luas
Pasar hewan Bolu terletak di wilayah Bolu, kecamatan Tallunglipu, Kabupaten toraja Utara. Secara Geografis terletak antara 02°57'42.9"LS dan 119°54'40,2"BT dengan elevasi 796mdpl. Pasar hewan ini memiliki letak yang sangat strategis bagi masyarakat karena sarana dan prasarana untuk mencapai wilayah atau lokasi tersebut sangat mendukung, seperti sarana transportasi angkutan umum maupun prasarana jalan yang cukup baik. Adapun luas pasar hewan Bolu yaitu ±500 m2.
Gambar 2.3.3.1.2 “Peta lokasi pasar Bolu”
Letak geografis pasar hewan Bolu Kabupaten Toraja Utara yang menjadi lokasi penelitian yaitu :
-          Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Buntu Tallunglipu
-          Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Rantepaku
-          Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Tagari
-          Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tallunglipu
c.              Ketersediaan Sarana
            Beberapa sarana yang terdapat di Pasar Hewan Bolu yaitu antara lain :
1.      Sarana Transportasi
Sarana transportasi merupakan salah satu sarana yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam upaya memperlancar mobilitas atau pergerakan dari satu wilayah kewilayah lainnya. Sarana transportasi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat adalah kendaraan. Sarana kendaraana ini berguna dalam pengangkutan massal, barang maupun objek lainya salah satunya ternak kerbau. Sarana transportasi di pasar hewan Balu cukup tersedia, baik untuk manusia maupun pengangkutan hewan ternak yang akan diperdagangkan.
Gambar 2.3.3.1.3 .“Terminal yang ada di pasar Bolu”
2.      Sarana Parkir
Selain sarana transportasi berupa kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat yang terdapat di pasar Hewan Bolu, sarana yang sangan dibutuhkan juga yaitu sarana parkir. Di pasar hewan Bolu, sarana parkir sangant membantu para pedagang maupun konsumen untuk memarkirkan kendaraan yang mereka gunakan. Meskipun terlihat bahwa sarana parkir yang terdapat di pasar hewan Bolusangat sederhana, akan tetapi keberadaannya sangat dirasakan bermanfaat bagi pelaku-pelaku di pasar hewan Bolu tersebut.
d.             Aktifitas Perdagangan Hewan
Seperti halnya dengan aktifitas sosial budaya masyarakat Toraja Utara yang sangat unik, aktifitas pemasaran ternak kerbau di pasar hewan Bolu kabupaten Toraja Utara juga memiliki keunikan tersendiri. Proses jual beli ternak yang sangat mengandalkan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang mereka terlihat dalam perdagangan ternak kerbau tersebut. Seperti masyarakat yang masih banyak menggunakan sarung dalam melakukan proses tawar menawar yang menarik dan lain sebagainya.
Aktivitas perdagangan ternak kerbau dan ternak-ternak lainya di pasar hewan Bolu Kabupaten Toraja Utara berlangsung setidaknya 5 atau 4 kali dalam sebulan. Aktifitas jual beli atau transaksi bali kerbau di pasar ini mulai pada jam 06.00 sampai selesai.
Aktifitas perdagangan ternak kerbau maupun ternak lainya seperti ternak babi, ayam dan lain sebagainya yang sangat unik tersebut  menjadi salah satu daya tarik wisatawan baik mancanegaramaupun wisatwan domestik. Hal ini menjadi salah satu sumber pedapatan asli daerah Kaupaten Toraja Utara.
Gambar 2.3.3.1.4 “Kandang Babi di pasar Bolu”
e.                Penetapan harga kerbau
Salah satu ternak besar yang bernilai ekonomis yaitu Kerbau (Bubalus Bubalis). Kerbau adalah binatang yang cukup banyak diperjualbelikan di Toraja karena seringnya diadakan pesta orang mati. Ada jenis kerbau yang sangat unik dan hanya terdapat di Toraja yaitu kerbau belang. Orang Toraja menyebutnya Tedong Bonga. Tedong Bonga ini hanya terdapat di Toraja Utara dan tidak terdapat di belahan manapun di dunia ini. Walapun hal ini  belum bisa dibuktikan secara ilmiah namun hingga sekarang memang belum pernah ada orang yang melihat Tedong Bonga selain di Toraja. Tedong Bonga ini juga harganya jauh lebih mahal dari kerbau biasa.
Gambar 2.3.3.1.5 “salah satu tedong bonga di pasar Bolu”
Pengaruh kerbau yang berlangsung turun-temurun demikian dalam sehingga alam pikiran orang Toraja begitu didominasi oleh kerbau. Langgengnya tradisi kedekatan dengan kerbau ini ditopang oleh mitos seputar asal usul kerbau yang demikian berpengaruh terhadap benak pemikiran dan sikap orang Toraja tentang kerbau. Kerbau dapat dikatakan bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Walaupun secara umum kerbau mempunyai nilai sosial tinggi, namun orang Toraja mempunyai cara menilai kerbau mereka. Tinggi rendahnya nilai kerbau tergantung pada mutu kerbau menurut penilaian yang berlaku umum, dan nampaknya sudah dipakai turun temurun sejak jaman nenek moyang. Penilaian ini juga berlaku bagi para pedagang kerbau saat ini dalam menentukan harga. Secara umum, orang Toraja menilai kerbau dari tanduk, warna kulit dan bulu, dan postur, serta tanda-tanda di badan. Mutu kerbau dapat dilihat dalam cara orang Toraja sendiri mengelompokkan kerbau berdasar jenis yang mereka kenal. Salah satu bukti demikian pentingnya kerbau dalam kebudayaan orang Toraja adalah dengan adanya sejumlah kategori dari berbagai macam jenis kerbau.
1.      Berdasarkan tanduk
a)      Ukuran tanduk
Tanduk kerbau menentukan nilainya. Namun, peran tanduk bagi kerbau jantan lebih penting dibandingkan pada kerbau betina. Biasanya ukuran dan bentuk tanduk kerbau betina tidak terlalu diperhitungkan. Tidaklah demikian dengan kerbau jantan. tanduk kerbau menjadi alat dekoratif yang bermakna dalam masyarakat. Di rumah-rumah tongkonan tanduk kerbau disusun di depan rumah, sebagai simbol status seseorang atau tongkonan.
Gambar 2.3.3.1.5.1 “tanduk kerbau yang tersusun di tongkonan”
Nilai satu kerbau muda ditentukan oleh panjang tanduknya. Semakin panjang maka semakin berharga. Harga otomatis akan turun bila terdapat cacat pada tanduknya, atau bentuknya tidak proporsional dengan badan kerbau. Ukuran ini dipakai dalam transaksi yang memakai kerbau. Umumnya, kerbau dipakai sebagai alat pembayaran dalam transaksi jual beli tanah sawah atau kebun, gadai dan dalam pesta kematian. Sebagai alat ukur tanduk, orang Toraja memakai ukuran anggota badan,( tangan) yaitu:
1)      Sang lampa taruno, artinya ukurannya sama dengan panjang ruas ujung jari tengah orang dewasa.
2)      Duang lampa taruno, artinya ukurannya sama dengan panjang dua ruas jari tengah orang dewasa.
3)      Sang rakka’, artinya ukurannya sama dengan panjang satu jari tengah orang dewasa.
4)      Limbong pala’, artinya ukurannya sama dengan panjang setengah telapak tangan orang dewasa.
5)      Sangkumabe’ artinya ukurannya sama dengan panjang telapak tangan orang dewasa.
6)      Sang lengo, artinya ukurannya sama dengan panjang ujung jari hingga pergelangan tangan orang dewasa.
7)      Sang pala’, artinya ukurannya sama dengan panjang pergelangan tangan ditambah empat jari.
8)      Sang busukan ponto, artinya ukurannya sama dengan panjang pergelangan tangan ditambah setengah lengan tangan orang dewasa.
9)      Alla’ tarin, artinya ukurannya sama dengan panjang hingga di atas siku
10)  Inanna, artinya ukurannya melewati siku.
b)      Bentuk tanduk
Selain ukurannya, bentuk tanduk juga mempunyai arti penting dalam memberi nilai pada kerbau. Orang Toraja membedakan bentuk tanduk sebagai berikut:
1)      Tanduk tarangga yaitu tanduk yang keluar dan membentuk setengah lingkaran. Jenis ini sangat umum di Toraja. Untuk kerbau jantan, jenis ini sangat kuat dalam adu kerbau.
2)      Tanduk pampang yaitu tanduk yang keluar melebar dan cenderung panjang. Tanduk jenis ini biasanya terbentuk dari kerbau balian. Kerbau yang buah pelernya sengaja dilepas untuk memperindah tanduk.
3)      Tanduk sikki’ yaitu tanduk yang arahnya hampir sama dengan tarangga namun cenderung merapat bahkan ujungnya nyaris bertemu
4)      Tanduk sokko yaitu tanduk yang arahnya turun ke bawah dan hampir bertemu di bawah leher. Dengan warna tertentu nilainya menjadi sangat mahal.
5)      Tekken Langi’ yakni tanduk yang mengarah secara berlawanan arah, satu ke bawah dan satu ke atas.
Kriteria tingkat mahalnya ternak kerbau di Tana Toraja antara lain dilihat dari tanduk kerbau. Harga kerbau menjadi lebih mahal jika tanduk kerbau memiliki model yang bagus dan seimbang dengan kepala, pusaran bulu terletak di atas hidung dan pundak serta ekor kerbau yaitu harus melewati lututnya.
2.      Berdasarkan warna kulit
Selain bentuk dan ukuran tanduk, kesempurnaan seekor kerbau ditentukan oleh warnanya. Warna juga menentukan nilai kerbau. Secara garis besar masyarakat Toraja mengenal i 8 jenis variasi dari segi kombinasi warna dan tanda-tandanya dari kerbau, antara lain:
a)      Bonga saleko atau bonga doti, adalah jenis kerbau belang yang yang kombinasi hitam dan putih hampir seimbang dan ditandai dengan taburan bintik-bintik di sekujur tubuhnya. Harga Bonga saleko bisa mencapai 350 juta.
b)      tedong sanga’daran adalah jenis kerbau yang dibagian mulutnya didominasi warna hitam.
c)      tedong randan dali’ adalah jenis kerbau yang alis matanya berwarna hitam.
d)     tedong takinan gayang, adalah jenis kerbau yang di punggungnya ada warna hitam menyerupai parang panjang.
e)      tedong ulu, adalah jenis kerbau yang warna putih hanya di kepalanya, sedang bagian leher dan badan berwarna hitam.
f)       tedong lotong boko’, adalah jenis kerbau yang terdapat warna hitam di punggung.
g)      tedong bulan, adalah jenis kerbau yang seluruh badannya berwarna putih. Jenis ini lebih murah harganya yaitu 20 juta.
h)      tedong sori, adalah jenis kerbau yang warna putih hanya di kepala bagian mata. Jenis ini harganya jauh lebih murah lagi.
3.      Berdasarkan letak pusar rambut
Pusar rambut yang normal terdapat dibagian hidung, pundak, dan pinggul. Pusar rambut yang terdapat dibagian tengah leher sebelah atas tidak disenangi, karena dipercaya bahwa jika dipotong atau hilang, maka orang yang memiliki kerbau tersebut akan cepat meninggal. Pusar rambut yang letaknya dibagian scapula jika kerbau tersebut pergi atau hilang maka tidak akan kembali dan pusar yang terletak dibagian perut mengakibatkan kerbau tidak panjang umur.
Ternak kerbau yang memiliki karakteristik tertentu, seperti kondisi fisik yang tegap, tanduk yang panjang dan melengkung, pusaran rambut yang berada pada lokasi tertentu, warna bulu yang bagus, ekor yang panjang tentunya akan memiliki harga yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ternak kerbau yang fisiknya kurus, tanduk yang pendek, dan tidak melengkung ke atas, pusaran rambut yang kurang jelas dan berada dibagian yang tidak di inginkan oleh masyarakat serta ekor yang pendek.




            ii.      Wisata Tongkonan di Palawa’
a.       Sejarah singkat tongkonan Palawa’
Dahulu kala seorang lelaki dari  Gunung Sesean bernama “Tomadao” bertualang. Dalam petualangannya ia bertemu dengan seorang gadis dari gunung Tibembeng bernama “Tallo’ Mangka kalena”. Mereka kemudia menikah dan bermukim di sebelah timur desa Palawa’ sekarang ini yang bernama Kulambu. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki bernama Datu Muane yang kemudian menikahi seorang perempuan bermana Lai’ Rangri’. Kemudian mereka beranak pinak dan mendirikan sebuah kampong yang sekaligus berfungsi sebagai benteng pertahanan. Apabila ada peperangan antara kampung dan ada lawan yang menyerang dan dikalahkan.dibunuh, maka darahnya diminum dan dagingnya dicincang dan disebut pa’lawak. Pada pertengahan abad ke-11 berdasarkan musyawarah adat disepakati mengganti nama Pa’lawak menjadi Palawa’. Palawak sebagai suatu kompleks perumahan adat dan bukan lagi daging manusia yang dimakan tetapi digantin dengan ayam dan disebut Pa’lawa’ manuk.
Keturunan Datu Muane secara berturut-turut membangun tongkonan di Palawa’. Sekarang ini terdapat sebelas tongkonan (rumah adat) yang urutannya sebagi berikut (dihitung dari sebelah Barat) :
1.      Tongkonan Salassa’ dibangun  oleh Salassa’
2.       Tongkonan Buntu dibangun oleh Ne’ Patan
3.      Tongkonan Ne’ Niro dibangun oleh Patangke dan Sampe Bungin
4.      Tongkonan Ne’ Darre dibangun oleh Ne’ Matasik
5.      Tongkonan Ne’ sapea dibangun oleh Ne’ Sapiah
6.      Tongkonan Katile dibangun oleh Ne’ Pipe
7.       Ne’ Malle dibangun oleh Ne’ Malle
8.      Tongkonan Sasana Budaya dibangun oleh Patampang
9.      Tongkonan Bamba II dibangun oleh Patampang
10.  Tongkonan Ne’ Babu’ dibangun oleh Ne’ Babu’
11.  Tongkonan Bamba I dibangun oleh Ne’ Ta’pare
Gambar 2.3.3.2.1 “ tongkonan Palawa’ “
Sebagaimana layaknya tongkonan di Toraja, maka tongkonan Palawa’ juga memiliki Rante yang disebut Rante Pa’padanunan dan Liang tua (kuburan batu) di Tiro Allo dan Kamandi. Selain tongkonan juga dibangun Lumbung atau alang sura’ (tempat penyimpanan padi) sebanyak 5 buah.
b.      Gambaran umum wisata tongkonan di Palawa’
Tongkonan adalah rumah adat masyarakat Toraja. Atapnya melengkung menyerupai perahu, terdiri atas susunan bambu (saat ini sebagian tongkonan menggunakan atap seng). Di bagian depan terdapat deretan tanduk kerbau. Bagian dalam ruangan dijadikan tempat tidur dan dapur. Tongkonan digunakan juga sebagai tempat untuk menyimpan mayat. Tongkonan berasal dari kata tongkon (artinya duduk bersama-sama). Tongkonan dibagi berdasarkan tingkatan atau peran dalam masyarakat (stara sosial Masyarakat Toraja). Di depan tongkonan terdapat lumbung padi, yang disebut alang. Tiang-tiang lumbung padi ini dibuat dari batang pohon palem (bangah) saat ini sebagian sudah dicor. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari, yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara.
Tongkonan Palawa’ adalah salah satu tongkonan yang berada di antara pohon-pohon bambu di puncak bukit. Tongkonan tersebut didekorasi dengan sejumlah tanduk kerbau yang ditancapkan di bagian depan rumah adat. Terletak sekitar 12 Km ke arah utara dari Rantepao. Antara 02º54'26,0"LS dan 119º56'22"BT, dengan elevasi 880mdpl.
Gambar 2.3.3.2.2 “Peta lokasi wisata Tongkonan di Palawa’ “
   
Gambar 2.3.3.2.2.1 “Tanduk tedong yang tersusun di tongkonan Palawa’ “
Gambar 2.3.3.2.2.2 “salah satu alat tenun di tongkonan Palawa’”
Gambar 2.3.3.2.2.3 “Salah satu kios yang ada di wisata Palawa’ “

          iii.      Wisata alam di Batutumonga
Jika ingin menikmati panorama tana toraja dari atas ketinggian, dengan hamparan sawah dan kota rantepao di bawah lembah, Batutumonga adalah tempatnya.
Dari lirik lagu diatas, kita dapat menggambarkan tentang Batutumonga. Batutumonga dikenal karena pemandangannya yang mempesona. Hamparan terasering sawah petani, kampung tradisional dan pemandangan kota Rantepao, dapat kita saksikan.
Gambar 2.3.3.3.2 “Pemandangan alam di Batutumonga”
Gambar 2.3.3.3.3 “Pemandangan alam di Batutumonga pada bulan maret-april”
Saat panen tiba, padi yang menguning ditimpa sinar mentari bagaikan hamparan emas, membentang di hadapan kita.
Kunjungan kita ditempat ini akan sempurna saat kita mencoba rasa nikmatnya kopi teraja pada kafe dan restaurant yang ada di Batutumonga.
Gambar 2.3.3.3.4 “Salah satu coffee shop yang ada di Batutumonga”
kecantikan tempat ini mungkin baru maksimal saat pagi-pagi sekali. Konon, beberapa kesaksian mengungkapkan bahwa menginap di Batutumonga bagaikan tidur di atas awan. Pada pagi hari, kita akan terbangun dan menemukan gumpalan kabut dan awan memenuhi lereng di bawah kaki kita. Sayangnya, akses menuju Batutumonga cukup sulit dan pada malam hari, keramaian tidak seramai Rantepao atau Makale. Batutumonga memang layak untuk kita yang benar-benar ingin kembali bersatu dengan alam dimana hanya suara jangkrik yang terdengar pada malam hari.

          iv.      Liang Pa’a di Deri
Suku Toraja Sulawesi Selatan, Indonesia, terkenal dari cara mereka memperlakukan kematian dan tanah pemakaman yang unik yang memahat batu.
Salah satu tujuan wisata paling indah di Indonesia yang memiliki perbukitan hijau. Suku Torajaadalah sebuah suku yang masih menghormati gaya hidup Austronesia tua. Kebanyakan beragama Kristen, , namun jejak-jejak kepercayaan lama masih tetap ada dan yang paling terlihat selama perayaan adat pemakaman dan penguburan. Toraja cukup terobsesi dengan kematian, tetapi tidak dalam arti tragis, untuk pemakaman seperti orang-orang yang akan pergi dirayakan dengan mengorbankan puluhan kerbau dan babi untuk pesta yang dinikmati oleh seluruh masyarakat. Tana Toraja menggunakan Pemakaman kuburan batu.
Perhatian utama seorang anggota suku Toraja adalah untuk memastikan dia memiliki cukup uang sehingga keluarganya bisa membuat pesta terbaik di kota, ketika ia meninggalkan dunia. Tubuh mereka disimpan di tongkonan selama bertahun-tahun setelah kematian mereka. Selama waktu ini keluarga yang melihat orang itu bukan sebagai "almarhum" tetapi sebagai "orang yang sakit", sampai mereka dapat mengumpulkan uang untuk pemakaman sebenarnya, yang biasanya dihadiri oleh ratusan tamu. Orang yang meninggal ditempatkan di makam yang digali di tebing di dekatnya, atau dalam peti mati kayu tergantung di sisi pegunungan. Daerah Deri merupakan kampung yang memiliki banyak batuan-batuan besar yang dapat dijadikan sebagai “Liang Pa’a“(kuburan batu). Itulah sebabnya daerah ini dikelilingi oleh banyaknya Liang Pa’a.
Gambar 2.3.3.4.2 “Persawahan di Deri dilihat dari Bukit Tinimbayo”
Deri adalah sebuah kampung kecil di lereng Gunung Sesean, yang secara administratif merupakan sebuah kelurahan yaitu Kelurahan Deri, Kecamatan Sesean, Kabupaten Toraja Utara – Propinsi Sulawesi Selatan.
Gambar 2.3.3.4.1 “Peta Lokasi Deri “
Dengan ukuran sekira tubuh gajah dewasa atau sebagian bahkan tiga kali lipatnya, batu-batu itu terlihat seperti raksasa. Strukturnya bulat. Dari jauh terlihat mulus berwana hitam agak kusam. Batu-batu itu di tengah sawah di mana petani biasa menanam padi sehari-hari. Berada di lokasi sawah yang berundak, seperti terasering, maka pemandangan itu amat menarik hati.
Lokasi ini berada di sisi utara Rantepao, ibukota Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi selatan. Dari ketinggian ini akan terlihat kota Rantepao yang mirip sepotong bakso di tengah mangkuk. Pegunungan yang mengelilingi kota inilah mangkuk tersebut. Dan, sawah-sawah dengan bebatuan raksasa di tengahnya ini ibarat lukisan di pinggir mangkuk tersebut.
Gambar 2.3.3.4.2 “Persawahan di Deri”
Menurut mitos masyarakat setempat, batu-batu itu jatuh begitu saja dari langit, seperti juga orang Toraja menganggap begitulah kehadiran leluhur mereka dulu kala.
Bebatuan raksasa ini tak hanya di sawah. Dia juga ada di jejeran bukit-bukit yang sambung menyambung membentuk lekukan mangkuk itu tadi. Ada yang terpisah sendiri dengan tinggi sekitar 15 meter. Ada pula yang menempel pada deretan bebukitan tersebut.
Lalu, pada batu-batu raksasa itu pula orang Toraja mengembalikan leluhur mereka. Lewat tradisi upacara kematian yang bisa menghabiskan ratusan juta atau bahkan milyaran, mereka mengistirahatkan jasad setiap orang yang sudah meninggal di tempat bernama liang ini. Mereka membuat ceruk sekitar 2 x 3 meter di dalam batu-batu raksasa itu. Jadilah semacam gua kecil. Lalu, jasad mereka yang sudah meninggal disemayamkan di  kuburan ini. Namun, penguburan ini tak harus melalui upacara besar yang menjadi salah satu daya tarik Tana Toraja.
Gambar 2.3.3.4.3 “Kuburan batu di Deri”

“Gambar2.3.3.4.4 “Kuburan batu di Deri (masih dalam proses pengerjaan)”
Letak lubang-lubang ini cukup tinggi yakni mencapai beberapa meter. Mayat dimasukkan ke dalam dengan tangga atau ditarik dengan tali.
Sedangkan ukuran lubang cukup besar sekitar 3 x 5 meter. Untuk membuat lubang ini dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, berkisar Rp 50 juta. Lubang dibuat dengan cara memahat bukit batu secara manual. Pekerjaan membuat lubang ini biasanya memakan waktu enam bulan hingga satu tahun.
            v.      Kalimbuang di Bori’
Kalimbuang Bori merupakan sebuah situs megalit yang terdapat di Tana Toraja Sulawesi Selatan. Jarak nya tidak terlalu jauh dari Ibu Kota Toraja Utara yaitu sekitar 5km dari Kota Rantepao, berada di Kecamatan Sesean di Toraja bagian utara.
Gambar 2.3.3.5.1 “Peta lokasi Kalimbuang Bori’ “
Obyek wisata utama adalah Rante (Tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan 100 buah menhir/megalit), dalam Bahasa toraja disebut Simbuang Batu. 102 bilah batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini mempunyai nilai adat yang sama. Penyebab perbedaan adalah perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan batu. Megalit/Simbuang Batu hanya diadakan bila pemuka masyarakat yang meninggal dunia dan upacaranya diadakan dalam tingkat Rapasan Sapurandanan (kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor).
Gambar 2.3.3.5.2 “Batu Simbuang di Bori”
Batu menhir diambil dari gunung atau dari batu-batu yg bertebaran di Tator, besar kecil nya ukuran batu disesuaikan dengan permintaan keluarga yang mengadakan acara upacara.
Batu-batu megalitik sulit untuk menemukan, dan jika ditemukan, bentuk mereka sering disembunyikan karena mereka sebagian tertutup dengan bumi. Susah dicari dan bila didapat sukar untuk ditentukan bentuk yang bagus atau tidak karena kadang-kadang hanya sedikit bagian batu itu yang menyembul di permukaan Tanah.
Orang mangimbo atau doa-doa yang dipimpin oleh Tominaa atau Alukta, sebelum memulai pengalian. Diharapkan nantinya dapat batu yang besar dan bagus bentuknya Yang dipercaya dapat pula memberi keberuntungan. Dikorbankan seekor babi setiap hari selama penggalian, kadang-kadang dibutuhkan waktu sampai lima Tiga Hari.
Gambar 2.3.3.5.3 “Batu simbuang yang sementara dipahat di pinggir jalan Deri”
seorang To’mapa yaitu orang yang mahir memahat sudah membentuk batu ini di atas gunung. To’mapa mengambil batu itu langsung dari tebing gunung dan kemudian di potong di tempat. Hebatnya alat yang digunakan semuanya masih tradisional yaitu dengan pahat dan martil. Setelah ditentukan ukuran dan besarnya akhirnya To’mapa mulai bekerja. Waktu pemotongannya saja bisa sampai berbulan bulan. Dan saat sudah selesai, langsung di bawa menuju lokasi ini dengan tenaga ratusan manusia. Wajar saja kalau sampai ratusan manusia yang menariknya. Pasalnya untuk satu buah batu saja beratnya ada yang mencapai 5 – 7 ton. Itu harus ditarik  oleh manusia dan tidak boleh menggunakan alat berat lainnya.
Gambar 2.3.3.5.4 “Ma’tare’ kayu”
 Lamanya penarikan bisa sampai berbulan bulan juga mengingat jaraknya yang cukup jauh serta medan yang dilalui cukup berat. Dari situ kita mendapat pelajaran bahwa masyarakat Toraja memiliki rasa kekeluargaan dan gotong royong yang tinggi.
Ada seorang yang memberi aba-aba Sambil berdiri diatas batu Yang ditarik. Kadang-kadang tali-temali Dari bambu Putus, Sambil tali-temali Yang Baru dipasang banyak Yang ma'badong yaitu Humanitarian & nyanyian kedukaan mengelilingi batu dan saling mengandengkan jari Keliling. Mereka dapat berhenti & beristirahat beberapa Hari untuk memulihkan Tenaga atau oleh karena gangguan cuaca seperti Hujan. Dan lagi-lagi babi-babi di korbankan untuk memberi makan para penarik batu.
Sesampainya di Rante, Ujung batu yang lebih besar ditanamkan di lubang yang telah digali kira-kira sepertiga Dari Panjang atau tingginya batu Simbuang. Sedangkan dua pertiganya menjulang tegak kokoh menghadapkan sisinya Yang dianggap depannya ke arah yang baik. Semakin banyak upacara pemakaman diadakan di Rapasan Rante, semakin bertambah jumlah batu-batu Simbuang yang didirikan. Batu Simbuang digunakan juga sebagai tempat untuk membuka posisi untuk menambatkan Kerbau selama Upacara Rambu Solo' berlangsung sampai pada hari pemotongan Kerbau..
 Ditengah lokasi batu-batu menhir ini terdapat sebuah panggung tertinggi diantara yg lain nya yg di sebut “Lakkian” yaitu tempat jenazah di semayamkan selama upacara di laksanakan.
“Gambar 2.3.3.5.5 “Lakkian yang ada di Kalimbuang Bori”
Pada tahun 1657 Rante Kalimbuang mulai digunakan pada upacara pemakaman Ne'Ramba' di mana 100 ekor kerbau dikorbankan dan didirikan dua Simbuang Batu. Selanjutnya pada tahun 1807 pada pemakaman Tonapa Ne'padda' didirikan 5 buah Simbuang Batu, sedang kerbau yang dikorbankan sebanyak 200 ekor. Ne'Lunde' yang pada upacaranya dikorbankan 100 ekor kerbau didirikan 3 buah Simbuang Batu. Selanjutnya berturut-turut sejak tahun 1907 banyak Simbuang Batu didirikan dalam ukuran besar, sedang, kecil dan secara khusus pada pemakaman Lai Datu (Ne'Kase') pada tahun 1935 didirikan satu buah Simbuang Batu yang terbesar dan tertinggi. Simbuang Batu yang terakhir adalah pada upacara pemakaman Sa'pang (Ne'Lai) pada tahun 1962.
Masih ada juga bangsawan Toraja / Bulaan Rapasan yang pada waktu Upacara Rambu Solo' mendirikan batu Simbuang di Rante sampai sekarang. Tetapi kebanyakan batu yang mereka gunakan adalah batu pahatan Simbuang
Dalam Kompleks Rante Kalimbuang tersebut terdapat juga hal-hal yang berkaitan dengan upacara pemakaman yang membuat kita mengetahui lebih banyak tentang Bori' Kalimbuang. Dilokasi Kalimbuang Bori selain terdapat batu menhir juga terdapat makam-makam yang di taruh di dalam pahatan batu. Kalo kita teruskan jalan ke belakang terdapat perkampungan penduduk. Di belakang juga ada makam bayi di gantung di pohon Tarra’, pohon besar diatas tengah nya di buatkan lubang dan jenazah bayi tersebut di masukan kedalam.
 
Gambar 2.3.3.5.6 “Kuburan bayi di Kalimbuang, Bori”

          vi.      Toko Kerajinan di Rantepao
Ada banyak toko souvenir di Rantepao di mana kita dapat membeli barang khas Tanah Toraja seperti pakaian, tas, dompet, dan kerajinan lainnya.
Di Rantepao, kita dapat menemukan biji kopi Toraja berkualitas tinggi seperti Robusta dan Arabika.
Gambar 2.3.3.6.1 “Kopi Toraja sebelum digiling”
Di sini kita juga dapat menemukan kalung manik-manik antik nan cantik. Kita dapat membeli berbagai cenderamata untuk oleh-oleh seperti kaos bergambar tongkonan, kain tenun khas Tana Toraja, peralatan rumah tangga dari kayu dengan ukiran khas Tana Toraja, dan masih banyak lagi.
Gambar 2.3.3.6.2 “Suasana Pertokoan di Rantepao”
Selain itu, banyak juga terdapat ukir-ukiran hingga miniatur Tongkonan dan topeng-topeng khas Toraja. Yang pasti  semua koleksi yang dijual disini tidak akan dapat dengan mudah kita temukan di tempat lain (maksudnya di luar Tana Toraja). Buat miniature Tongkonan, kami sangat salut sekali dengan para pembuatnya. Karena mampu membuat miniatur Tongkonan dengan sangat nyata bahkan hingga ke susunan atapnya. Untuk membuat Tongkonan yang besar mungkin tidak terlalu masalah bagi warga Tana Toraja, namun Tongkonan kecil pastinya membutuhkan kemampuan khusus dan ketelitian yang tinggi untuk merakitnya.
Gambar 2.3.3.6.3 “Souvenir tongkonan”
Di beberapa di pasar tradisional setempat dapat Anda temukan buah-buahan  seperti tamarella atau terong belanda dan ikan mas.

        vii.      Ke’te’ Kesu’
Wisata Ke'te' Kesu' terletak sekitar 3 km sebelah tenggara dari Rantepao dan dapat dijangkau kendaraan bermotor, baik kendaraan rental maupun angkutan umum.
Gambar 2.3.3.7.1 “Peta Lokasi Ke’te’ Kesu’ “
Ke'te Kesu' adalah kompleks miniatur warisan budaya toraja berupa pemukiman tradisional. Sebagai kompleks pemukiman tradisional, di objek wisata Ke'te Kesu' dapat dijumpai rumah tradisional lengkap dengan lumbungnya, kompleks pemakaman tradisional dengan liang batu batu dan peti kayu berukir yang memuat satu keluarga, serta lapangan/pelataran untuk upacara adat dimana masih terdapat menhir-menhir dari upacara yang pernah diadakan di masa yang lalu.
a.             Rumah & Lumbung Tradisional
           Rumah tradisional atau rumah adat toraja disebut Tongkonan, dan lumbung tradisional disebut alang. Tongkonan maupun Alang selalu dibangun membujur dari Utara - Selatan dan saling berhadapan. Tongkonan di sebelah selatan menghadap ke Utara, sementara Alang di sebelah Utara menghadap ke Selatan.
Gambar 2.3.3.7.2 “Foto bersama Pend.Geografi’10 dengan background Tongkonan di Ke’te’ Kesu’ “
b.            Pemakaman Tradisional
           Pemakaman tradisional untuk bangsawan adalah liang kubur yang dipahat di tebing-tebing batu. Dari era sebelum dikenalnya liang kubur batu, model peti kayu berukir yang memuat satu keluarga banyak digunakan di Toraja karena lebih mudah dibuat. peti-peti kayu ini memiliki berbagai bentuk, baik menyerupai Babi, Kerbau, maupun berbentuk Rumah Tongkonan. Di kompleks pemakaman Ke'te Kesu' kedua jenis peti/kuburan ini masih dapat ditemukan.
    
Gambar 2.3.3.7.3 “Patane di Ke’te’ Kesu’ “
    
Gambar 2.3.3.7.4 “Erong yang menyerupai rumah tongkonan, babi, dan kerbau”
           
Gambar 2.3.3.7.5 “Kuburan dalam goa di Ke’te’ Kesu’ “
c.             Lapangan/Pelataran upacara adat
           Masyarakat Tradisional Toraja tidak dapat dipisahkan dari upacara Adat, oleh karena itu setiap pemukiman memiliki lapangan upacara yang disebut Rante. Di sinilah upacara adat diadakan, baik Rambu Solo' dan Rambu Tuka'.
Gambar 2.3.3.7.6 “Rante di Ke’te’ Kesu’, tempat upacara rambu tuka’ dan rambu solo’ diadakan”
Dengan adanya rumah tradisional, pemakaman, dan lapangan upacara adat, objek wisata Ke'te Kesu merupakan salah satu kompleks pemukiman tradisional toraja yang paling lengkap. Objek wisata ini juga dikelilingi hamparan persawahan dan rumpun bambu yang selalu menjadi ciri khas pemukiman asli toraja.
Menurut literature dari internet, 3 bulan sebelum kami praktek di lokasi Ke’te’ Kesu’ telah diadakan upacara kematian di Ke’te’ kesu’. Isi literature yang diposkan oleh Simon Daijon pada tanggal 30 Agustus seperti...

Rambu Solo'


Rambu solo’ atau upacara kematian yang sering dilaksanakan di Toraja sudah tidak asing lagi didengar di sebagian kalangan masyarakat. Khususnya masyarakat Toraja. Upacara kematian atau biasanya disebut dengan sebutan Rambu solo’ oleh masyarakat lokal adalah sebuah upacara kematian yang sangat unik dan sangat meriah. Upacara kematian upacara ini bisa berlangsung selama beberapa hari atau biasanya hampir berminggu- minggu dan menghabiskan banyak dana. Dan untuk persiapannya memakan waktu berbulan- bulan atau bertaahun- tahun.
Baru- baru ini, telah dilaksanakan sebuah upacara Rambu Solo’ di kabupaten Toraja Utara, tepatnya di salah satu objek pariwisata terkenal di Toraja yaitu Ke’te Kesu. Almarhum yang diupacarakan bernama Sindo’ Toding. Salah satu keturunan Bangsawan yang ada di Toraja. Upacara ini berlangsung hampir dua minggu. Dan persiapan untuk membuat pemondokan dan hal- hal lainnya yang akan digunakan dalam upacara, hampir memakan waktu hampir satu tahun, dan memakan dana ratusan bahkan mungkin hampir miliaran rupiah.
Upacara Rambu Solo’ yang dilaksanakan di Ke’te Kesu ini disebut sebaga Upacara Massapu Randanan. Disebut demikian karena, keluarga dari Almarhum tidak hanya akan memotong kerbau dan babi pada upacara tersebut. Tetapi akan memotong domba, kambing, bahkan kuda. Dan minimal kerbau yang harus mereka potong sebanyak 24 ekor kerbau. Upacara Rambu Solo’ ini terbagi atas dua kali rentang waktu. Pertama, yaitu upacara yang disebut Aluk Pia. Di mana, upacara ini dilaksanakan di sekitar Tongkonan atau kediaman keluarga yang ditinggalkan. Dan yang kedua adalah Upacara Rante. Upacara ini dilaksanakan di sebuah lapangan khusus yang tidak terlalu jauh dari lokasi Tongkon. Kedua rentang upacara ini masih terbagi- bagi.
Yang pertama adalah Aluk Pia. Upacara ini dimulai dari acara Ma’pasulluk yang dilaksanakan pada tangga 16 juli tahu 2012. Dimana, kerbau yang akan dipotong akan dikumpulkan di tempat upacara akan berlangsung, dan dihias dengan berbagai macam pernak- pernik. Beberapa diantaranya punggungnya ditutupi oleh sebuah kain yang disebut dengan Maa’. Maa’ adalah semacam kain tenun yang berumur ratusan tahun dan tidak pernah dicuci. Setelah semua kerbau terkumpul, semua kerbau tersebut dibawa untuk mengelilingi tiga buah alang atau lumbung sebanyak tiga kali. Tetapi, sebelum kerbau itu dibawa untuk mengelilingi Alang, ada dua orang yang membawa gong dan salah satunya membunyikan gong tersebut lalu ada beberapa orang yang membawa bendera yang berasal dari kain Maa’ dengan tiang dari bambu dan terakhir diikuti oleh para kebau.
Setelah selesai, mereka kembali berkumpul di tengah- tengah lokasi upacara, bendera yang dibawa tadi ditancapkan tepat di depan salah satu rumah tongkonan atau rumah adat toraja yang dimana, di teras rumah tongkonan tersebut telah diletakkan patung sang Almarhum. Kemudian, mereka akan mengumumkan siapa yang memiliki kerbau yang akan dipotong dan nama setiap kerbau. Mereka diberi kebebasan untuk memberikan nama kepada kerbau mereka. Sedangkan setiap pengembala kerbau akan diberikan enam buah pokon, semacan nasi ketan yang dimasak menggunakan santan lalu dibungkus menggunakan daun salak, kemudian di kukus. Selain pokon, mereka juga akan diberikan sepotong daging babi yang telah direbus di dalam panci besar dan setiap sorenya, selama upacara Rambu Solo’ dilaksanakan, akan ada adu kerbau. Kecuali pada saat Ma’ Parokko Alang, Ma’ Roto’, Mantunu serta Ma’Kaburu’.
Pada hari berikutnya, tepatnya pada tanggal 18 Juli adalah Upacara Mangriu’ Batu. Upacara ini termasuk upacara Rante. Pada upacara ini, semua masyarakat yang berada disekitar tempat upacara akan datang untuk menarik batu mulai dari tempat mereka mengambilnya sampai ke rante. Tempat untuk meletakkan jenazah saat upacara inti dan tempat untuk memotong kerbau dan babi. Batu yang mereka ambil pada saat itu berada sekitar hampir dua ratus meter dari rante dengan ukuran 3x1 meter. Jumlah masyarakat yang datang untuk menarik batu dengan ukuran sebesar itu cukup banyak. Menurut salah seorang yang datang untuk menarik batu, jumlah mereka hampir dua ratus. Batu yang ditarik tersebut menandakan bahwa ada satu lagi orang yang dimakamkan dengan uapacara Massapu randanan atau biasa juga disebut mangrapai’.
Saat mereka menarik batu tersebut, ada salah seorang yang memberikan komando dan berbicara kotor dalam upacara tersebut dibenarkan. Semua orang yang manarik batu, bagitupun dengan orang memberikan komando dibebaskan untuk mengatakan hal- hal yang kotor . Hal itu dilakukan karena, menurut kepercayaan masyarakat Toraja, jika mereka tidak mengatakan hal- hal yang kotor, batu yang mereka tarik tidak akan berpindah. Selain itu, di Toraja, tidak sembarang orang diperkenankan untuk ditarikkan batu. hanya untuk yang berdarah bangsawan yang bisa diupacarakan dengan aturan tersebut. Walaupun mereka memotong kerbau lebih dari seratus, tetapi mereka bukanlah keturunan bangsawan, hal itu tidak diperkenankan. dan batu yang mereka tarik tidak akan berpindah tempat berapapun jumlah orang yang menarikkanya jika orang yang telah meninggal tidak layak untuk hal tersebut.
Kemudian di hari selanjutnya, tepatnya tanggal 19 juli adalah Upacara Ma’Pasa’ Tedong. Upacara ini dilaksanakan di dua tempat. Pertama di Tongkonan, kemudian di Rante. Hampir sama dengan Ma’Pasulluk. Bedanya, pada upacara ini, semua kerbau baik yang akan dipotong maupun yang tidak akan dipotong, atau kerbau yang disumbangkan oleh keluarga yang lain, dari pemerintah, atau instansi lain akan dikumpulkan dan akan dibawa berarak- arakan dan terakhir semua kerbau tersebut dikumpulkan di sekitar rante, tepat di sekeliling Balaa’ Kaan. Balaa’ Kaan adalah sebuah pondok kecil yang berukuran sekitar 4 meter persegi dengan disanggah oleh empat tiang dan tingginya dari bawah tanah sekitar 4 meter. Dua meter dari tanah akan dipasangi lantai yang terbuat dari kayu kemudian diberi atap. Tempat itu adalah tempat untuk membagi- bagikan daging pada Upacara Mantunu.
Kemudian keesokan harinya dilakasanakan upacara Ma’ parokko Alang atau menurunkan jenazah ke dari rumah adat Toraja atau Tongkonan ke lumbung untuk disemayamkan secara sementara. Upacara ini dilaksanakan pada malam hari dan bertempat di lokasi tongkonan. Kemudian, keesokan harinya, keluarga akan mengadakan ibadah dan malamnya diadakan upacara Ma’roto’. Yaitu membubuhkan ornamen- ornamen ke peti jenazah yang telah dibuat bundar. Ornamen- ornamen tersebut berupa kain merah yang dipasangkan ke seluruh bagian peti, kemudian dihias dengan kertas yang berwarna emas dan telah dipotong berdasarkan motif ukiran khas toraja. Upacara ini juga masih dilakukan di sekitar Tongkonan.
Kemudian, tepatnya pada tanggal 23 Juli. Dilaksanakanlah upacara Ma’ Palao. Pada upacara ini, peti mati beserta patung orang yang telah meninggal akan dibawa berarak- arakan menggunakan Sarinngan atau alat untuk menopang peti. Saringgan ini dibuat seperti miniatur dari Rumah Tongkonan dan dibawa menuju ke Rante dan diletakkan di sebuah tempat yang disebut Lakkian. Arsitektur dari Lakkian ini menyerupai Alang. Hanya saja, Lakkian lebih tinggi dibandingkan dengan Alang. Upacara Ma’palao ini termasuk Upacara Rante.
Keesokan harinya upacara yang diadakan disebut upacara Mantarima tamu dan diadakan di lokasi Tongkonan. Setiap tamu akan dibawa secara berombongan menuju ke dalam sebuah pemondokan yang cukup luas yang disebut Inan Pa’tammuan. Setiap rombongan pada bagian depan ada beberapa kerbau yang dibawa oleh orang yang datang melayat, kemudian berpuluh- puluh babi lalu diikuti oleh seseorang yang disebut Tau Ma’randing, yaitu orang yang akan menunjukkan tempat para tamu akan duduk, dan dari belakangnya diikuti oleh semua orang yang datang melayat dengan membuat barisan yang cukup panjang. Setiap rombongan dapat mencapai seratus lebih orang dan dalam satu hari, jumlah Rombongan yang masuk ke inan pa’tammuan sekitar sepuluh rombongan.
Setelah para tamu atau rombongan tiba di Inan Pa’tammuan, maka para wanita yang telah ditunjuka akan membawakan minuman dan makanan untuk para tamu tersebut. Orang yang membawa minuman tersebut disebut Tau Ma’ Pairu’. Jumlah mereka sekitar seratus orang. Tetapi, sebelum mereka  melayani para tamu, para pria akan mempertunjukkan sebuah tarian sederhana yang disebut Ma’badong, mereka akan membentuk lingkaran, memegang tangan satu sama lain, lalu mulai menari dengan mengangkat tangan dan menyanyikan lagu yang liriknya cukup sederhana. Selain untuk menghibur, Ma’badong juga bertujuan untuk mengantarkan arwah Almarhum ke Puyo atau alam baka. Ketika para pria sedang Ma’ Badong, maka para wanita beriringan menuju ke Inan Pa’Tammuan untuk melayani para tamu setelah anak atau keluarga dekat dari Almarhum memberikan sekapur sirih atau rokok kepada para tamu.
Upacara ini berlangsung selama dua hari. Pada hari kamis, mereka akan beristirahat untuk mempersiapkan upacara pada hari berikutnya. Pada tangga 27 Juli, diadakanlah upacara mantunu, atau upacara pemotongan semua hewan yang akan dikurbankan. Upacara ini akan diadakan di Rante. Pada upacara yang ada di Ke’te Kesu, jumlah kerbau yang dipotong sekitar 40 ekor dan yang tidak dipotong sekitar 45 ekor lebih. Sedangkan untuk babi tidak terhitung jumlahnya.
Hari terakhir dari upacara ini adalah upacara Ma’ Kaburu’. upacara ini dilaksanakan pada tanggal 28 Juli. Pada upacara ini, peti jenazah akan disemayamkan di Patene, tempat peristirahatan terakhir. Patane ini berbentuk seperti sebuah rumah kecil. Tetapi, sebelum jenazah di bawa ke patane, jenazah akan kembali dipindahkan ke Tongkonan bersama dengan patung orang yang telah meninggal dan keluarga akan melaksanakan ibadah singkat setelah itu makan siang dan terakhir peti jenazah dan patungnya akan dibawa ke patane.
Itulah hari terakhir dari uapacara Rambu Solo’. Cukup rumit memang dan menghabiskan banyak biaya. Tetapi, itu adalah sebuah keharusan yang harus mereka lakukan sebagai penghormatan terakhir kepada keluarga yang telah meninggal.

Keindahan Ke’te Kesu


Keindahan Ke’te Kesu
Toraja Utara adalah sebuah kabupaten yang sangat indah dan berada di Provinsi Sulawesi Selatan. Toraja Utara merupakan hasil pemekaran dari Toraja Utara. Walaupun usia Kabupaten ini bisa dikatakan masih sangat muda, yaitu empat tahun, tetapi keeksotikannya sangat di kenal oleh masyarakat luas, khususnya di mancanegara. Keindahan pegunungan yang menjulang tinggi dan sawah- sawah yang menghampar luas, serta daerah- daerah wisata dan budaya masayarakat yang sangat indah dan unik membuat para wisatawan susah untuk melewatkan kabupaten ini.
salah satu tempat wisata yang paling terkenal di Toraja Utara adalah Ke’te Kesu. Tempat wisata ini berjarak sekitar empat kilometer dari kota Rantepao. Di tempat wisata ini terdapat sebuah perkampungan rumah adat Toraja yang biasanya disebut Tongkonan. Ke’te Kesu disebut- sebut sebagai daerah wisata paling lengkap di Toraja Utara karena, para wisatawan tidak hanya akan mendapatkan beberapa Tongkonan yang berjejer rapi. Tetapi, mereka juga akan mendapatkan beberapa lumbung padi atau masyarakat lokal biasa menyebutnya dengan sebutan Alang yang berdiri tepat di depan setiap Tongkonan. Gaya arsitektur antara Alang dan Tongkonan tidak jauh berbeda. Hanya, ukuran Tongkonan yang lebih besar dari alang dan bagian bawahnya yang di mana, Alang terdiri atas empat tiang dan Tongkonan kurang lebih terdiri atas dua puluh tiang.
Tidak hanya sampai di situ, di Ke’te Kesu, kita akan dapat menemukan sebuah Rante, atau tempat  di mana masyarakat atau keluarga yang memiliki hubungan darah dengan nenek moyang yang berasal dari ke’te kesu melaksanankan upacara adat. Di sana terdapat begitu banyak batu besar yang ditanam di sana. Kita biasa menyebutnya dengan sebuatan Menhir. Banyaknya batu yang ditanam di Rante menandakan banyaknya orang yang telah meninggal diupacarakan dengan sebuah upacara khusus yang biasanya disebut dengan sebutan massapu randanan.
Massapu randanan adalah upacara pemakaman atau upacara Rambu solo’ begitu orang Toraja menyebutnya adalah upacara pemakaman yang paling tinggi di Toraja. Khususnya di Toraja Utara. Dan hanya diperkenankan untuk orang yang berdarah bangsawan. Di upacara ini. Keluarga dari orang yang telah meninggal harus memotong kerbau minimal 20 ekor. Dan hewan lainnya seperti babi, domba, kuda, kambing dan sebagainya, jumlahnya tidak ditentukan.
   Beraliah dari rante, para wisatawan juga tidak boleh melewatkan sebuah kuburan yang ada di ke’te kesu. Kuburan yang ada di Toraja, terbagi atas beberapa jenis. Ada yang disebut dengan kuburan gantung, yang dimana peti orang yang telah meninggal digantung di atas sebuah tebing batu dengan disanggah oleh kayu yang sangat kuat. Peti yang digunakan cukup unik. Petinya terbuat dari kayu dan berbentuk seperti lesung atau tempat menumbuk padi yang panjang seperti perahu, dan bagian penutupnya berbentuk seperti atap dari rumah tongkonan, kemudian ada yang disebut dengan dengan kuburan batu. Orang yang meninggal, pertama- tama dibuatkan sebuah lubang secara mendatar yang berukuran 1x1,5 meter di atas tebing batu yang dalamnya biasanya disesuaikan. Orang yang telah meninggal dan dikuburkan pada kuburan batu tidak dimasukkan ke dalam peti, melainkan dililit oleh kain sangat cukup tebal. Biasanya disebut di balun oleh masyarakat Toraja. Orang yang biasanya dikuburkan dengan cara itu hanya dimasukkan ke dalam lubang kuburan batu.
Dan yang terakhir adalah patane. Patane adalah sebuah kuburan yang berbentuk seperti rumah kecil dan memiliki pintu yang biasanya ukurannya disesuaikan. Orang yang dikuburkan ke dalam patene terlebih dahulu dimasukkan ke dalam peti. Ada peti yang berbentuk segi empat dan ada yang berbentu bundar dan diukir dengan ukiran Toraja. Ada juga yang polos. Semua jenis kuburan Tersebut ada di Ke’te Kesu.
Keindahan tempat wisata ini sangat luar biasa. Dimulai dari Tongkonan, alang, kuburan, dan tidak ketinggalan, pemandangan alam yang masih menarik membuat tempat ini semakin indah.

      viii.      Londa
Londa merupakan salah satu objek wisata yang paling popular di Tana Toraja. Hampir setiap saat tempat ini dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara dari berbagai belahan dunia. Keunikan budaya masyarakat Tana Toraja menjadikan Londa sebagai objek wisata yang menantang. Hal ini disebabkan karena Londa menyimpan banyak mayat dari berbagai usia dan status sosial dalam masyarakat Tana Toraja.
15 menit perjalanan melalui Rantepao ke arah Makale terdapat Londa. Kawasan yang juga wisata pekuburan itu bahkan lebih besar dari pada Kete Kesu .Objek wisata Londa terletak di desa Sandan Uai yang berjarak kurang lebih 6 km dari arah selatan Rantepao.
Gambar 2.3.3.8.1 “Peta lokasi Londa”
Londa berwujud sebuah tempat pemakaman dari bebatuan kapur dimana terdapat banyak deretan tau-tau di sepanjang dinding bukit, tulang dan tengkorak serta erong di dalam dinding goa. Goa Londa sendiri panjangnya mencapai kurang lebih 1000 meter sehingga untuk masuk ke dalamnya dibutuhkan nyali yang cukup besar karena suasananya yang menegangkan di mana hampir di sepanjang dasar dinding goa terdapat tulang dan tengkorak kepala manusia yang berserakan. Karena di dalam goa tidak terdapat fasilitas penerangan maka anda harus membawa sendiri peralatan seperti senter dan lampu minyak tanah, kalaupun tidak punya anda dapat menyewanya dari penduduk yang biasanya mangkal di mulut goa.
Londa merupakan sebuah gua alam yg difungsikan sebagai salah satu kuburanyang telah berumur ratusan tahun, tetapi tetap masih di fungsikan hingga sekarang, hal ini terbukti masih banyak nya peti mati baru terlihat masih utuh dan bagus serta tertulis tahun kematian nya th 2010 yg di letak kan di dalam gua tersebut.
Gambar 2.3.3.8.2 “Peti baru”
Goa Londa adalah kuburan pada sisi batu karang terjal , salah satu sisi dari kuburan itu berada di ketinggian dari bukit mempunyai gua yang dalam dimana peti-peti mayat di atur dan di kelompokkan berdasarkan garis keluarga. Menurut adat Tana Toraja, setiap jenasah di Goa Londa yang dimakamkan melalui upacara adat tertinggi akan dibuatkan replikanya dalam bentuk patung yang dinamakan tau-tau lengkap dengan pakaian adat Toraja sedangkan mayatnya disemayamkan dalam peti mati khas yang disebut erong.
Gambar 2.3.3.8.3 “Tau-tau”
 Seringkali juga pada tau-tau disertakan benda kesayangan dari sang mendiang, seperti makanan, rokok dan sebagainya. Posisi erong pun dibedakan menurut status sosialnya. Semakin tinggi letak erong pada dinding gua semakin tinggi pula status sosialnya di masyarakat Tana Toraja. Masyarakat Toraja percaya bahwa orang yang meninggal dapat membawa hartanya ke kehidupan setelah mati. Inilah salah satu alasan mengapa mereka mengubur peti-peti mati di tempat-tempat yang tinggi. Selain untuk melindungi harta yang ikut dikubur, mereka juga percaya bahwa semakin tinggi letak peti mati maka semakin dekat perjalanan roh yang meninggal menuju tempatnya setelah mati (nirwana).
Gambar 2.3.3.8.4 “Kuburan bangsawan”
Goa Londa merupakan salah satu tempat sakral di antara berbagai objek wisata lainnya di Tana Toraja. Oleh karena itu, sebelum memasukinya para pengunjung dianjurkan untuk membawa sesajian sebagai permohonan izin, seperti pinang, sirih, serta bunga. Selain itu, anda tidak diperkenankan untuk mengambil ataupun mengubah posisi mayat, tulang, tengkorak, erong dan tau-tau.
Gua Londa memiliki kisah romantik Romeo-Juliet versi Toraja. Dikisahkan, ada sepasang kekasih yang dilarang berhubungan oleh keluarganya masing-masing karena masih berhubungan darah dan kemudian bunuh diri. Kisah bunuh diri mereka ada dua versi. Versi pertama mengatakan mereka terjun dari tebing, tapi ada yang mengatakan mereka menggantung diri. Di gua Londa, tulang belulang sepasang kekasih ini diletakkan berdekatan.
Gambar 2.3.3.8.5 “Rpmeo N Juliet versi Toraja”
Orang pacaran tidak boleh berfoto didekat tengkorak ini, bisa putus kata orang-orang setempat. Believe it or not??? silahkan dicoba..!

          ix.      Bamba Puang
Bambapuang adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Anggereje Kabupaten Enrekang Propinsi Sulawesi Selatan . Desa ini memiliki luas daerah 1,489 km² dengan jumlah penduduk menurut data sensus 2008 sebanyak ± 3.117 jiwa dengan pembagian 1.546 laki laki dan 1.571 perempuan ,dari jumlah penduduk tersebut kelompok yang masih produktif dengan patokan umur adalah antara 19 s/d 50 tahun dengan jumlah 1.040 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 21 jiwa km². Batas Wilayah Desa Bambapuang yakni sebelah utara berbatasan dengan Desa Mandate, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Tuara, sebelah barat berbataan dengan Desa Tindalun dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Rossoan. Desa Bambapuang terletak pada ketinggian 500 mdpl jarak tempuh dari desa ke kecamatan sekitar 12km.
Bambapuang bersebelahan dengan Gunung Nona dan Sungai Sa’dan. Sehingga di lirik oleh pemerintahan setempat untuk dijadikan objek wisata dengan cara membuat 1000 tangga, menurut warga di sana bambapuang berarti tangga raja konon kata warga di sana bambapuang itu merupakan sebuah tangga yang menjulang tinggi hingga kelangit jadi di sana di gunakan sebagai media untuk menyampaikan wahyu dari yang di atas untuk penduduk di bumi. Pada suatu hari ada seorang raja yang mempunyai sepasang anak laki laki dan perempuan yang rupawan. Pada suatu hari si pangeran meminta kepada ayahnya untuk dinikahkan dengan anak adiknya karena dia tidak mau menikah selain dengan adiknya. Raja pun menyuruh sang pengantar Wahyu untuk menanyakan kepada Tuhan apakah itu diperbolehkan?. sang pengantar wahyu membuat kesalahan dengan menyelewengkan isi wahyu tersebut, dia mengatakan bahwa Tuhan mengizinkannya. Jadi Tuhan murka sehingga ditendangnya tangga itu hingga robohlah tangga itu kearah timur jadi sampai sekarang dari bambapuang hingga toraja tanahnya berbatuan. Jadi mulai dari situlah tanah disana berbatuan.
 Buttu kabobong atau gunung nona adalah gunung yang terletak di kecamatan Anggeraja kabupaten Enrekang yang memiliki bentuk unik dan eksotis. Cerita Gunung Nona ini diawali dari sebuah kerajaan di Kabupaten soppeng yang masyarakatnya makmur dan sejahtera dibawah pimpinan raja yang amat bikak.
Gambar 2.3.3.9 “Gunung Nona”
Raja ini memiliki puteri tunggal yang cantik jelita. Kehidupan sang raja terbina dengan baiuk dan terkenal memengan erta adat istiadat di tanah Soppeng. Setelah dewasa sang puteri secara adat akan di nikahkan dengan paneran dari tanah suppa, tetpanya di kerajaan suppa. Pangeran ini adalah sahabat dari raja Soppeng. Ia satu-satunnya pewaris tahta kerajaan.
Kedua orang tua mereka sepakat untuk menikahakn anak-ankanya. Apalagi pada saat itu, aturan yang berlaku untuk pernikahan adalah aturan orang tua. Rencana ini ternyata tidak diketahui oleh sang puteru raja Soppeng, kedua orang tua mereka berkinginan untuk melangsungkan pernikahan lebih cepat.
Tak lama rencana pernikahan ini diketahui sang puteri ia bingung sendiri dengan maksud orang tuanya. Ia akan dinikahkan dengan pangeran yang sama sekali belum pernah dilihat atau dikenal.
Sebenarnya ia merasa tidak mengerti tujuan sang raja untuk menikahkannya dengan oerang yang ia tak kenal. Sang puteri merasa paham dengan proses perniakahan. Pernikahan akan di langsungkan jika keduanya telah saling mengenal satu sama lainya. Bukankah pernikah adalah sesuatu hal yang sakral?
Namun sang puteri tetap harus menjaga nama baik kerajaan. Apalagi hal itu adalah keputusan sang raja yang tak lain adalah orang tuanya sendiri. Selain itu masyarakat soppeng dan supa berannggapan adat adalah tolak ukur tinggi rrendahanya harga diri kerajaan di mata Deawa. Melaksanakan perintah orang tua/putuisan raja termaksduk menikhakan anaknya adalah adat yang tiadak boleh di tentang. Jika adat ditentang dewa akan murka dan memberikan kutukan.
Keadaan ini m,embuat sang puteri semakain terpukul ingin rasanya menjealasakan keapada raja tentang pernikahan itu. Ia tak dapat menerka bagaimana kehidupan mereaka setelah menikah. Seharunya sang raja memikirkan perasan puterinya belum lagi sang puteri merasa belum memilki pengalamaman yang cukup untuk berumha tangga.
Proses pernikahan tidak lama akan dilangsungkan. Sementera sang puteri yang terkenal cantik, cerdas dan bijak hanya merenung di kamarnya. Sesekali dengan tatapan kosong ia menatap keluar melalui jendela. Ada rasa gundah yang yang terus menghantui sang puteri tap[u dia merasa tak berdaya untuk bertindak.
Ternyata keadaan sang puteri diperhatikan sang ibu. “mengapa engkau selalu termenung dan hanya mengurung diri?” Tanya ibunya dengan lembut. “kamu adalah darah dangingku. aku tahu ada yang risaukan anakku!” lanjutnya lagi. Namum sang puteru diam memdengar pertanyaan ibunya “katakanlah……apa masalahmu anakku?”. “mengapa saya harus di nikahkan dengan orang yang asya tidak kenala ap[alagi pilihan ayah dan ibu?”, jawab sang puteri”bukankah yang makan menjalani hidup adalah saya bukan ayah atau ibu”
Memdengar jawaban sang puteri ibunya kaget. Ternyata buah hatinya telah berpikir lebih jauh dan dewasa. Pernyataan anaknya memang benar dan hal itupun ia bicarakan dengan suaminya sebelunya namun. Mereka tak dapat berbuat banyak karena hal tersebut adalah simbol meningkatnya derajat kerajan Soppeng
Rencana pernikahan ini semakin dekat. Berita pernikahan puteri raja soppeng dengan pangeran raja suppa telah tersiar di masyarakat. Pesta direncanakan akan berlangsung slama tujuh hari tujah malam dengan berbagai jenis makan, berbagai macam hiburan rakyat. Sementara perasaan sang puteri semakin meronta.
Satu hari sebelum pesta dilangsungkan, diadakan malam mappacci untuk sang puteri.Setalah proses mappacci pada malm itu, seisi istana sangat kelelahan sehingga mereka tertidur lelap. Keadaamn ini dimamfaatkan sang puteri. Ia tak sanggup menjalankan proses pernikahan sehingga ia memutuskan untuk pergi. Dengan bantuan pelayannya ia melarikan diri melalui jendela tepat sebelum ayam berkokok. Rencanaya ia akan berlari kerah utara soppeng.
Pagipun tiba, iring-iringaNdari kerajaan Suppa mulai terdengar puluhan kuda dan pariasi lainya mengiringi perjalan pangeran raja suppa menuju soppeng. Sementara di istana soppeng tengah sibuk menpersiapkan seremoni pernikah. Ada yang mengurus perlengkapan, ada yang mengurus makanan dan ada yang mengurus busana sang puteri. Ibunyapun mulai mengetuk pinti kamar sang puteri namun taka ada jawaban. Ibu memanggil pelayan istana untuk membuka pintu kamara sang p[uteri. Setelah terbuka ibunya kecewa, sosok puterinya telah menghilang.
Berita perginaya sang puteri meninggalakan istana telah terseba kemana-mana raja soppeng merasa malu dan harga dirinya terinjak-injak. Apalagi penyebabnya adalah darah dangingnya sendiri. Ia berjanji tidka akan memaafkan anaknya bahkan akn membunuhnya karena dianggap telah mencoreng nama kerajaan. Sang raja memanggil semua tokoh, dukun dan prajurit kerajaan mereka ditugaskan untuk mencarai sang puteri melalui empat penjuru mata angin.
Prajurit yang mencari kearah utara menemukan sang puteri tapi sang puteri tidak sendirian. Ia bersama dengan seorang laki-laki dari tanah massemrepulu yang bernama Tandu Mataranna Enrekang Laki Barakkanna Puang. Lelaki ini mengatakan kepada prajurit bahwa tidak ada yang dapat menyentuh sang puteri jika ia masih hidup. Mel9ihat badan lelaki yang besar menbuat prajurit mundur. Keadaan ini disampaikan kepada sang raja. Raja mengutus penghulu bnersama prajurit dari tanah soppeng. Penghulu diutus sebagai penegah antara prajurit dan lelaki dari tanah massemrenpulu. Setelah melalui perundingan panajang, penghulu berhasil menbuat kesepakatan. Sang puteri akn di bawa ke Soppeng tetapi prajurit berjanji akan mengembalikan puteri dalam keadaan bernyawa. Namun, salah satu dari prajutit ingkar janji. Ia menebas badan puteri dari belakang, saat penghulu, dan Tandu Mataranna berunding. Sekejab, Tandu Mataranna menjadi marah dan membabi buta semua prajurit yang ada di tempat itu.
Sementara badan sang puteri terbagi dua. Bagian pusat hingga kepala jatuh dan terbawa arus sungai Mata Allo. Konon, arus sungai ini tidak melewati soppeng karena merupakan tempat kelahiran sang puteri. Sedangkan bagian bawa pusat dalam keadaan terlentang dan tetap berada di daerah tersebut. Bagian bawa inilah yang menjadi gunung nona di Anggeraja.
mitos masyarakat setempat menjadikan gunung nona dan gunung bambapuang sebagai tempat pertapaan bagi pasangan yang akan menikah. Laki-laki bertapa selama tujuh hari tujuh malam di gunung bambapuang dan perempuan di gunung nona. Konon, pasangan ini akan memperoleh petunjuk tentang pinagan mereka masing-masing.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Menanggung  derita  bersama  merupakan  kewajiban  moral  masyarakat  Toraja  dan  upacara  pemakaman  tetap  penting  untuk  tujuan itu.  Karena  pentingnya  makna  sosial  politik,  tidak  ada  tanda-tanda  kebiasaan  itu  akan  punah.
Penetapan Harga Jual Kerbau di Pasar Hewan Bolu Kecamatan Tallunglipu Kabupaten Toraja Utara dengan tiga karakteristik kerbau yaitu tanduk, warna, dan letak pusaran bulu.
Toraja sendiri memiliki sejarah-sejarah yang begitu unik. Ini dapat kita lihat dari tempat-tempat wisatanya, seperti:
1.      Wisata tongkonan di Palawa’
2.      Panorama alam di batutumonga
3.      Daerah sekitaran deri’
4.      Kalimbuang di Bori’
5.      Ke’te’ Kesu’
6.      Londa

B.     Saran
1.      Diharapkan agar laporan ini dapat dijadikan sebagai media informasi bagi masyarakat dan bagi mahasiswa pada khususnya, serta bagi orang-orang yang membutuhkan informasi data tentang budaya Toraja.
2.      Diharapkan agar literatur tentang Geografi Budaya lebih diperbanyak lagi.
3.      Diharapkan agar dalam mendapatkan data lebih teliti lagi sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.



DAFTAR PUSTAKA

*       Hidayah,  Zulyani.  1996.  Ensiklopedia  Suku  Bangsa  di  Indonesia.  Jakarta:LP3ES
*       Inc,  Grolier  International.  2003.  “Agama  dan  Upacara”,  dalam  Indonesian  Heritage  @edisi  Bahasa  Indonesia.  Jakarta:  Buku  Antar  Bangsa
*       www.restoDB.com
*       http://666.mht
*       liburan.info.com
*       Lintas.daerah.com
*       www.google.com ---> gambar dan artikel lainnya dengan  pencarian  Toraja dan pemakaman  Toraja