Tugas
Individu
DI KABUPATEN TORAJA UTARA
Oleh :
SURIANTI
TIMANG
101504036
JURUSAN
GEOGRAFI
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
2012
KATA PENGANTAR
Segalah puji dan syukur ucapkan penyusun panjatkan ke
hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segalah kasih dan karunianya sehingga laporan
praktek lapang Oseanografi dapat terselesaikan dengan baik.
Melalui
kesempatan ini, penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua
teman-teman yang telah banyak membantu penyusun hingga selesainya laporan
praktek lapang Oseanografi ini. Begitu
pula kepada dosen penanggung jawab, dosen coordinator dan asisten.
Penyusun
menyadari bahwa laporan ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi
penyusunan kata-kata atau penggunaan bahasa maupun penyajian materi.
Oleh
karena itu, dari penyusun mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun
dari para pembaca demi kesempurnaan penyusunan laporan selanjutnya sehingga
laporan ini bermanfaat bagi kita semua.
Makassar, Oktober 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Rumusan
Masalah
C. Waktu dan Tempat
D. Tujuan Praktek
E. Kegunaan
Praktek
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan Asal Mula Masyarakat Toraja
1.
Sejarah Toraja
2.
Asal mula masyarakat Toraja
3.
Sejarah Aluk
B.
Letak Geografis dan Administratif
Kab.Toraja Utara
C.
Gambaran Umum Toraja Utara
1.
Jumlah penduduk
2.
Uoacara adat Tana Toraja
i.
Rambu tuka’
ii.
Rambu solo’
3.
Objek wisata di Toraja Utara
i.
Pasar hewan Bolu
ii.
Wisata Tongkonan di Palawa’
iii.
Panorama alam di Batutumonga
iv.
Liang pa’a di Deri’
v.
Kalimbuang di Bori’
vi.
Toko kerajinan di Rantepao
vii.
Ke’te’ Kesu’
viii.
Londa
ix.
Bamba Puang
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kebudayaan
merupakan hasil budidaya manusia yang selalu tumbuh dan berkembang. Kebudayaan
sudah sejak lama menjadi salah satu garapan dan pembangunan nasional. Budaya
merupakan salah satu bagian aset kepariwisataan yang memiliki corak beraneka
ragam di bumi nusantara ini.
Indonesia sebagai Negara kepulauan
memiliki kekayaan alam yang melimpah
dengan berbagai macam kebudayaan, adat, serta agama, tidak terkecuali di Toraja
yang tentunya dapat dimanfaatkan dalam bidang kepariwisataan, sebagai sektor
komoditi yang sangat baik bagi perekonomian dan sebagai Daerah Tujuan Wisata
terfavorit ke-2 kedua setelah Bali.
Suku Toraja adalah
suku yang
menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa. Mereka juga menetap di sebagian
dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Gambar 1.1 Peta topografi Kab.Tana Toraja dan
Toraja Utara
Nama Toraja mulanya diberikan oleh
suku Bugis Sidenreng dan
dari Luwu. Orang Sidenreng
menamakan penduduk daerah
ini dengan sebutan
To Riaja yang mengandung
arti "Orang yang
berdiam di negeri
atas atau pegunungan", sedang
orang Luwu menyebutnya
To Riajang yang
artinya adalah "orang yang
berdiam di sebelah
barat". Ada juga
versi lain bahwa
kata Toraya asal To
= Tau (orang),
Raya = dari
kata Maraya (besar),
artinya orang -orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan
tersebut menjadi Toraja,
dan kata Tana berarti
negeri, sehingga tempat
pemukiman suku Toraja
dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut,
maka penulis merumuskan masalah pada budaya
Toraja, asal mula masyarakat Toraja, dan khususnya menceritakan tentang
beberapa wisata yang ada di Toraja, seperti: Pasar Hewan yang ada di Bolu,
Wisata tongkonan pertama di Palawa’, pemandangan alam di Batutumonga, beberapa
kuburan batu yang ada di Deri’, Wisata Kalimbuang di Bori’, toko souvenir di
Rantepao, Ke’te’ Kesu’, Londa, dan yang terakhir Buntu Kabobong / Gunung Nona
yang ada di Enrekang.
C.
Waktu dan Tempat
Praktek
lapang dilakukan pada:
Waktu : Jumat, 5 oktober 2012 – Sabtu, 6
oktober 2012
Tempat :
Þ Pasar Hewan yang ada di Bolu
Þ
Wisata tongkonan pertama di
Palawa’
Þ
pemandangan alam di
Batutumonga, Liang Pa’a di Deri’
Þ
Wisata Kalimbuang di Bori’
Þ
toko kerajinan di Rantepao
Þ
Ke’te’ Kesu’
Þ
Londa
Þ
Buntu Kabobong / Gunung Nona
yang ada di Enrekang.
D.
Tujuan Laporan
Adapun tujuan dari praktek ini,
yaitu:
1.
Memeberikan pengetahuan kepada
mahasiswa dalam memahami karakteristik budaya Toraja.
2.
Memeberikan keterampilan kepada
mahasiswa dalam mendeskripsikan tentang beberapa wisata yang ada di Toraja.
E.
Kegunaan Praktek
Adapun
kegunaan dari praktek ini, yaitu:
1.
Meningkatkan kemampuan
mahasiswa dalam penguasaan bidang Geografi Budaya baik secara teori maupun
praktek di lapangan.
2.
Data yang dihasilkan dapat
menjadi data dasar, bahan informasi dan referensi bagi pihak-pihak terkait yang
membutuhkan data dan informasi tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan Asal Mula Masyarakat Toraja
1.
Sejarah Toraja
i.
Tahun 1926 Tana Toraja sebagai Onder Afdeeling
Makale-Rantepao dibawah Self bestur Luwu.
ii.
Tahun 1946 Tana Toraja terpisah menjadi Swaraja yang berdiri
sendiri berdasarkan Besluit Lanschap Nomor 105 tanggal 8 Oktober 1946
iii.
Tahun 1957 berubah menjadi Kabupaten Dati II Tana Toraja
berdasarklan UU Darurat Nomor 3 Tahun 1957.
iv.
UU Nomor 22 Tahun 1999 Kabupaten Dati II Tana Toraja berubah
menjadi Kabupaten Tana Toraja
v.
21 Juli 2008 mengalami pemekaran, sehingga Toraja
bagian utara menjadi Kabupaten Toraja Utara yang beribukota Rantepao, sedangkan
Toraja bagian selatan tetap menjadi Kabupaten Tana Toraja yang beribukota
Makale.
2.
Asal mula
masyarakat Toraja
Konon, leluhur orang Toraja
adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun
temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan
bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan "tangga dari
langit" untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media
komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Lain lagi versi dari DR. C.
CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat
Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk
(lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang
notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi
antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina
dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan
lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya
di daerah tersebut.
Nama Toraja mulanya diberikan
oleh suku Bugis Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk
daerah ini dengan sebuatn To Riaja yang mengandung arti "Orang yang
berdiam di negeri atas atau pegunungan", sedang orang Luwu menyebutnya To
Riajang yang artinya adalah "orang yang berdiam di sebelah barat".
Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata
Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan
tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat
pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
3
Sejarah Aluk
Konon manusia yang turun ke
bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk. Aluk merupakan
aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur
suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola
tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua.
Cerita tentang perkembangan
dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni: Tipamulanna Aluk ditampa
dao langi' yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme' di
kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi' dirura.Kedua
tahapan ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk
merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo Cina
pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.
Beberapa Tokoh penting dalam
penyebaran aluk, antara lain:
i.
Tomanurun Tambora Langi' adalah pembawa aluk Sabda Saratu'
yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.
ii.
Selain daripada itu terdapat Aluk Sanda Pitunna disebarluaskan
oleh tiga tokoh, yaitu :
a.
Pongkapadang bersama Burake Tattiu' menuju bagian barat Tana
Toraja yakni ke Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu
Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, derngan membawa pranata sosial yang disebut
dalam bahasa Toraja "To Unnirui' suke pa'pa, to ungkandei kandian saratu
yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata.
b.
Kemudian Pasontik bersama Burake Tambolang menuju ke
daerah-daerahsebelah timur Tana Toraja, yaitu daerah Pitung Pananaian,
Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta'bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan
Utara dengan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : "To
Unnirui' suku dibonga, To unkandei kandean pindan", yaitu pranata sosial
yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.
c.
Tangdilino bersama Burake Tangngana ke daerah bagian tengah
Tana Toraja dengan membawa pranata sosial "To unniru'i suke dibonga, To ungkandei
kandean pindan", Tangdilino diketahui menikah dua kali, yaitu dengan Buen
Manik, perkawinan ini membuahkan delapan anak. Perkawinan Tangdilino dengan
Salle Bi'ti dari Makale membuahkan seorang anak. Kesembilan anak Tangdilino
tersebar keberbagai daerah, yaitu Pabane menuju Kesu', Parange menuju Buntao',
Pasontik ke Pantilang, Pote'Malla ke Rongkong (Luwu), Bobolangi menuju Pitu
Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, Bue ke daerah Duri, Bangkudu Ma'dandan ke
Bala (Mangkendek), Sirrang ke Dangle.
Itulah yang membuat seluruh
Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo diikat oleh salah satu aturan yang
dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo arti harfiahnya
adalah "Negri yang bulat seperti bulan dan Matahari". Nama ini
mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu
kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja
tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya
terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan
ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.
Karena perserikatan dan
kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama perserikatan bundar atau
bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikat
seluruh daerah dan kelompok adat tersebut.
B.
Letak Geografis dan Administratif Kab.Toraja Utara
Kabupaten
Toraja secara geografis terletak antara 2°40'LS−3°25'LS dan 119°30'BT−120°25'BT.
Batas wilayah Toraja Utara antara lain:
1.
Sebelah Utara berbatasan dengan
Kabupaten Luwu Utara dan Provinsi Sulawesi Barat (Kabupaten Mamuju).
2.
Sebelah Timur berbatasan dengan
kota Palopo dan Kabupaten Luwu.
3.
Sebelah Selatan berbatasan
dengan Kabupaten Tana Toraja.
4.
Sebelah Barat berbatasan dengan
Kabupaten Tana Toraja dan Provinsi Sulawesi Barat.
Kabupaten Toraja yang beribukota di Rantepao memiliki
luas wilayah 1.151,47
.
Gambar
2.2.1 “Peta daerah Kab. Tana Toraja dan Toraja Utara”
Kabupaten
Toraja Utara dilewati oleh salah satu sungai terpanjang yang terdapat di
Propinsi Sulawesi Selatan, yaitu sungai Sa’dan. Jarak ibukota Kabupaten Toraja
Utara dengan ibukota Propinsi Sulawesi Selatan mencapai ±350km, dengan rute: kabupaten Tana Toraja → Kabupaten
Enrekang → Kabupaten Sidrap → Kota Pare- Pare → Kabupaten Barru → Kabupaten Pangkep
→ Kabupaten Maros → Kota Makassar.
C.
Gambaran Umum Toraja Utara
1.
Jumlah Penduduk
Penduduk Kabupaten Toraja Utara berdasarkan hasil sensus penduduk akhir tahun 2009 berjumlah 229.090 jiwa yang
tersebar di 21 Kecamatan, dengan jumlah penduduk terbesar yakni 25.805 jiwa
mendiami Kecamatan Rantepao. Secara keseluruhan, jumlah penduduk yang berjenis
kelamin laki-laki lebih banyak dari penduduk yang berjenis kelamin perempuan,
yang masing-masing 119.620 jiwa penduduk laki-laki dan 109.470 jiwa penduduk perempuan.
Hal ini juga tercermin pada angka rasio jenis kelamin yang lebih besar dari
100, yaitu 109%, ini berarti, dari setiap 100 orang perempuan terdapat 109
laki-laki. Laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Toraja Utara pada tahun 2009
dibandingkan dengan tahun 2008 mencapai 1,15% persen Kepadatan penduduk di
Kabupaten Toraja Utara pada tahun 2009 telah mencapai 199 jiwa/km².
2.
Upacara Adat Tana Toraja
Di wilayah Toraja terdapat
upacara adat yang terkenal dan tidak ada duanya di dunia, yaitu upacara adat Rambu
Solo' (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu',
juga acara upacara Ma'nene'. Dan Upacara Adat Rambu Tuka.
Upacara-upacara adat tersebut
di atas baik Rambu Tuka' maupun Rambu Solo' diikuti oleh seni tari dan seni
musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya.
i.
Rambu tuka’
Upacara
adat Rambu Tuka' adalah acara yang berhungan dengan acara syukuran. Misalnya
acara pernikahan, syukuran panen, dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru,
atau yang selesai direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara
ini membuat ikatan kekeluargaan di Toraja sangat kuat. Semua upacara tersebut
dikenal dengan nama Ma'Bua', Merok, atau Mangrara Banua/Sura'
Untuk
upacara adat Rambu Tuka' diikuti oleh seni tari: Pa' Gellu, Pa' Boneballa,
Gellu Tungga', Ondo Samalele, Pa'Dao Bulan, Pa'Burake, Memanna, Maluya, Pa'Tirra',
Panimbong dan lain-lain.
Gambar 2.3.2.1. “
pa’gellu’ “
Untuk seni musik yaitu Pa'pompang, Pa'barrung, Pa'pelle'.
Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo' tidak boleh (tabu
ditampilkan pada upacara Rambu Tuka'.
ii.
Rambu solo’ (Upacara
Pemakaman)
Gambar
2.3.2.2. “pesta kematian”
Adat
istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja secara turun temurun ini,
mewajibkan keluarga yang ditinggal membuat sebuah pesta sebagai tanda
penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.
Namun
dalam Pelaksanaannya, upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang
mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:
a.
Dipasang Bongi: Upacara yang hanya diiaksanakan dalam satu
malam.
b.
Dipatallung Bongi: Upacara yang berlangsung selama tiga
malam dan dilaksanakan dirumah dan ada pemotongan hewan.
c.
Dipalimang Bongi: Upacara pemakamanyang berlangsung selama
lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah serta pemotongan hewan.
d.
Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama
tujuh malam yang setiap harinya ada pemotongan hewan.
Biasanya
pada upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentan waktu sekurang
kurangnya setahun. Upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dalam
pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan
Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah "lapangan
Khusus" karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini
biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma'tundan,
Mebalun (membungkus jenazah), Ma'roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan
perak pada peti jenazah), Ma'Parokko Alang (menurunkan jenazah kelumbung untuk
disemayamkan), dan yang terkahir Ma'Palao (yakni mengusung jenazah ketempat
peristirahatan yang terakhir).
Tidak
hanya ritual adat yang dapat dijumpai dalam Upacara Rambu solo, berbagai
kegiatan budaya yang begitu menariknya dapat dipertontonkan dalam upacara ini,
antara lain :
a.
Mapasilaga tedong (Adu kerbau), perlu diketahui bahwa kerbau
di Tana Toraja memiliki ciri yang mungkin tidak dapat ditemui didaerah lain,
mulai yang memiliki tanduk bengkok kebawah sampai dengan kerbau berkulit belang
(tedang bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai
ratusan juta;
b.
Sisemba (Adu kaki). Biasanya diadakan sehabis panen.
c.
Tari tarian yang berkaitan dengan rambu solo’: Pa'Badong,
Pa'Dondi, Pa'Randing, Pa'Katia, Pa'papanggan, Passailo dan Pa'pasilaga Tedong;
Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa'pompang, Pa'dali-dali dan Unnosong.;
Ma'tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat Toraja, yaitu
dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas), biasanya
kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama
Simbuang Batu. Menjelang usainya Upacara Rambu Solo', keluarga mendiang
diwajibkan mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan
selesainya upacara pemakaman Rambu Solo'.
3.
Obyek Wisata di Toraja Utara
Terdapat banyak objek dan daya tarik
wisata di Toraja Utara. Objek dan daya tarik wisata ini terbagi dalam beberapa
jenis objek wisata seperti wisata budaya, wisata sejarah, wisata alam dan
lingkungan, wisata agro, dan lain-lain. Setiap titik tujuan objek wisata
tersebut masing-masing memiliki daya tarik.
Klasifikasi objek wisata di kabupaten
toraja utara sebagai berikut :
i.
Objek wisata budaya
a.
Tongkonan : rumah / perkampungan
tradisional toraja.
b.
Rante : lapangan tempat upacara / pemakaman.
c.
Simbuang/menhir : batu tempat penambatan kerbau dirante.
d.
Liang lo’ko’ : kuburan dalam gua alam.
e.
Erong : kuburan kuno dalam kayu dekoratif.
f.
Liang pa’a : kuburan batu pahat.
g.
Patane : kuburan berbentuk bangunan rumah.
i.
Liang pia/ passiliran : kuburan bayi yang belum tumbuh gigi,
pada pohon
yang tumbuh.
h.
Tau-tau : patung orang meninggal di pekuburan.
i.
Perajin tenun dan pahat
j.
Museum
ii.
Objek wisata agrowisata
iii. Objek wisata kolam alam
iv. Objek wisata panorama alam / air terjun
Tabel Nama-nama objek wisata di Kabupaten Toraja
Utara
No
|
Nama
Objek
|
Daya
tarik wista utama
|
Keterangan Jenis Objek
|
Lokasi
|
1.
|
Londa
|
Liang lo’ko’, Erong, Tau-tau, Kuburan
Gantung .
|
Wisata Sejarah
|
Londa
|
2.
|
Ke’te Kesu
|
Tongkonan,erong, patane, kuburan
gantung,pengrajin/ukiran,museum, simbuang
|
Wisata sejarah dan wisata budaya
|
Ke’te’ Kesu
|
3.
|
Penanian Nanggala
|
Tongkonan dan persawahan,rante dan
simbuang, patane dan kelelawar.
|
Wisata budaya
|
Nanggala
|
4.
|
Palawa’
|
Tongkonan, pengrajin tenun tradisional.
|
Wisata budaya
|
Palawa’
|
5.
|
To’ Barana’
|
Pusat pertenunan tradisional, panorama
tepi sungai.
|
Wisata seni kerajinan
|
Sa’dan
|
6.
|
Siguntu’
|
Tongkonan, panorama.
|
Wisata budaya
|
|
7.
|
Marante
|
Tongkonan, Liang Paa’, erong, Tau-tau.
|
Wisata budaya
|
Bori’
|
8.
|
Patane Pong masangka’
|
Patane, tau-tau dari batu.
|
Wisata sejarah
|
Pangli
|
9.
|
Bori’ kalimbuang
|
Rante (simbuang), menhir.
|
Wisata sejarah
|
Bori’
|
10
|
Pana’
|
Liang paa’
|
Wisata budaya
|
|
11
|
Batutumonga
|
Panorama indah, resort penginapan
|
Wisata alam & lingkungan
|
Batutumonga
|
12
|
Lo’ko’ mata
|
Liang paa’
|
Wisata budaya
|
Lempo
|
13
|
Buntu pune
|
Tongkonan, Liang paa, patane
|
Wisata budaya
|
|
14
|
Rante karassik
|
Rante, simbuang, arena adu kerbau
|
Wisata sejarah
|
Karassik
|
15
|
Pala’ tokke
|
Kuburan tergantung
|
Wisata sejarah
|
|
16
|
Tiroallo sesean ula’
|
Kuburan Marimbunna (Mitos)
|
Wisata sejarah
|
Sesean
|
17
|
Singki’ Tambolang
|
Panorama,kolam alam (tirta),liang paa
|
Wisata budaya
|
Gunung Singki’
|
18
|
Buntu Barana’
|
Benteng pertahanan, liang loko’, panorama
|
Wisata alam & lingkungan
|
Barana’
|
19
|
Matakanan
|
Sumber air panas
|
Wisata alam & lingkungan
|
|
20
|
Tanete
|
Tongkonan
|
Wisata budaya
|
|
21
|
Pangtimban
|
Erong, liang paa
|
Wisata budaya
|
|
22
|
Benteng batu
|
Benteng pertahanan pahlawan pongtiku
|
Wisata budaya
|
Pongtiku
|
23
|
Mamullu’
|
Panorama, benteng pertahanan
|
Wisata alam &lingkungan
|
|
24
|
Bate bambalu
|
Museum mini
|
Wisata sejarah
|
|
25
|
Galugu dua
|
Tongkonan, pertenunan tradisional
|
Wisata budaya
|
Sa’dan
|
26
|
Tongkonan unnoni
|
Pertenunan tradisional
|
Wisata seni kerajinan
|
Sa’dan
|
27
|
Lombok parinding
|
Liang lo’ko’ , erong
|
Wisata budaya
|
Parinding
|
28
|
Ta’pan langkan
|
Liang paa
|
Wisata budaya
|
|
29
|
Ranteallo
|
Tongkonan
|
Wisata budaya
|
|
30
|
Ba’kan ulu
|
Tongkonan, panorama & kolam
alam(tirta)
|
Wisata budaya
|
|
31
|
Padamaran
|
Perkebunan Kopi Arabika & Pemrosesan
Kopi, Hutan Wisata & Panorama
|
Wisata alam & lingkungan
|
Padamaran
|
32
|
Wisata agro ringgallo
|
Agro
|
Wisata agro
|
Rindingallo
|
33
|
Tunuan
|
Liang lo’ko’
|
Wisata budaya
|
|
34
|
Nanggala
|
Hutan wisata & panorama
|
Wisata alam & lingkungan
|
Nanggala
|
35
|
Randan batu
|
Kerajinan besi
|
Wisata seni kerajinan
|
Randan
|
36
|
Pasar hewan bolu
|
Pasar hewan (kerbau&babi), wisata
agro
|
Wisata agro
|
Bolu
|
37
|
Lingka Seile Belo Raya
|
Banua tongkonan
|
Wisata budaya
|
|
38
|
Rantewai
|
Banua tongkonan
|
Wisata budaya
|
|
39
|
Kollo - kollo
|
Banua tongkonan
|
Wisata budaya
|
Kollo
|
40
|
Rante tendan
|
Rante tongkonan
|
Wisata budaya
|
|
41
|
Tondon
|
Liang Paa, Erong
|
Wisata budaya
|
Tondon
|
42
|
To’ tarra’
|
Gua alam, tempat perkebunan
|
Wisata budaya
|
Balusu
|
43
|
Bunian Bulawan
|
Liang Paa
|
Wisata budaya
|
|
44
|
To’ Sarira
|
Banua tongkonan
|
Wisata budaya
|
|
45
|
To’ Doyan
|
Liang paa
|
Wisata budaya
|
|
46
|
Buntu tondon
|
Liang paa
|
Wisata budaya
|
Tondon
|
47
|
Museum Landorundun
|
Banua tongkonan / museum
|
Wisata sejarah
|
Sa’dan
|
48
|
Maruang (Buntu Rongko)
|
Banua tongkonan
|
Wisata budaya
|
|
49
|
Kolam alam limbong
|
Kolam alam
|
Wisata alam & lingkungan
|
Singki’
|
50
|
Batukianak
|
Budaya, Pemandangan alam, Permandian alam
|
Wisata alam & lingkungan
|
Buntu lobo’
|
51
|
Panorama alam Ko’lan Go’yang
|
Kuburan tua / erong, menhir, tongkonan,
panorama alam
|
Wisata budaya
|
Ulu salu
|
52
|
Ballo Pasenge’
|
Air terjun, pohon keramat, tongkonan
|
Wisata alam & lingkungan
|
|
53
|
massayo
|
Batu keramat
|
Wisata sejarah
|
|
54
|
Museum miniature ne’ Gandeng
|
Museum
|
Wisata sejarah
|
Malakiri
|
55
|
Dende’
|
Mummi
|
Wisata sejarah
|
Dende’
|
56
|
Butu susan
|
Trekking, pemandangan alam
|
Wisata alam & lingkungan
|
|
57
|
Tambolang
|
Kuburan alam, tongkonan
|
Wisata sejarah
|
|
58
|
Tongka’
|
Gua alam, sumur alam, tongkonan, rante,
kuburan bayi, panorama, gua benteng, patung dan kuburan
|
Wisata sejarah
|
La’bo’
|
59
|
Rante kandeapi
|
Menhir, tongkonan
|
Wisata budaya
|
Kandeapi
|
60
|
Alla’ taluntun
|
Kuburan, gua alam
|
Wisata sejarah
|
sandanwai
|
Sumber : Skripsi Desy Bulawan Bonggasilomba Tahun 2011
hal. 57-61
Dari 60 objek wisata ini, yang akan
diteliti hanya ada 9 objek wisata yaitu Pasar hewan di Bolu, Palawa’,
Batutumonga, Deri’, Bori’ kalimbuang, toko kerajinan di Rantepao, ke’te’ Kesu’,
Londa dan diluar Toraja seperti buntu Kabobong. Pemilihan objek wisata ini selain
karena statusnya yang sudah berkembang, objek wisata ini juga yang paling banyak
dikunjungi dan juga pengelolaan objeknya sudah cukup baik.
i.
Pasar hewan di Bolu
a.
Sejarah Singkat Pasar Hewan
Bolu Kecamatan Tallunglipu Kabupaten Toraja Utara
Pasar hewan Bolu Kabupaten Toraja Utara
merupakan salah satu pasar yang memiliki ciri khas tersendiri di kabupaten
Toraja Utara. Pasar ini sejak zaman dahulu terus mengalami perkembangan seiring
dengan meningkatnya kegiatan pemasaran dan perdagangan ternak.
Pasar ini, khususnya memperdagangkan atau
memasarkan hewan ternak sehingga di kenal dengan nama pasar hewan bolu.
Aktifitas pemasaran hewan ternak kerbau ini berlangsung selama lima kali dalam
sebutan. Adapun beberapa jenis ternak atau hewan yang di pasarkan yaitu antara
lain ternak kerbau lokal dan ternak kerbau asal daerah lain, serta ternak babi.
Saat ini keberadaan pasar hewan bukan hanya
sebagai salah satu sumber pandapatan asli daerah yang bersumber dari pemungutan
retribusi pasar, akan tetapi juga sebagai objek wisata bagi wisatawan baik
domestik maupun mancanegara. Hal ini tidak terlepas dari keunikan-keunikan yang
terjadi dalam pemasaran ternak atau hewan yang sangat berbeda dengan pemasaran
ternak atau hewan di daerah-daerah atau wilayah lain.
Gambar
2.3.3.1.1. “Aktivitas pasar hewan di Bolu”
Ternak kerbau merupakan salah satu ternak
yang dominan di pasarkan di pasar hewan Bolu disebabkan karena ternak kerbau
merupakan salah satu ternak yang memiliki arti ekonomis dan nilai sosial yang
cukup tinggi karena dugunakan pada berbagai kegiatan budaya mauppun ritual
keagamaan masyarakat Tana Toraja.
b.
Letak dan Luas
Pasar hewan Bolu terletak di wilayah Bolu, kecamatan
Tallunglipu, Kabupaten toraja Utara. Secara Geografis terletak antara 02°57'42.9"LS
dan 119°54'40,2"BT dengan elevasi 796mdpl. Pasar hewan ini memiliki letak
yang sangat strategis bagi masyarakat karena sarana dan prasarana untuk
mencapai wilayah atau lokasi tersebut sangat mendukung, seperti sarana
transportasi angkutan umum maupun prasarana jalan yang cukup baik. Adapun luas
pasar hewan Bolu yaitu ±500 m2.
Gambar
2.3.3.1.2 “Peta lokasi pasar Bolu”
Letak geografis pasar hewan Bolu Kabupaten
Toraja Utara yang menjadi lokasi penelitian yaitu :
-
Sebelah Utara berbatasan dengan
Kecamatan Buntu Tallunglipu
-
Sebelah Timur berbatasan dengan
Kelurahan Rantepaku
-
Sebelah Selatan berbatasan
dengan Kelurahan Tagari
-
Sebelah Barat berbatasan dengan
Kecamatan Tallunglipu
c.
Ketersediaan Sarana
Beberapa sarana yang terdapat
di Pasar Hewan Bolu yaitu antara lain :
1.
Sarana Transportasi
Sarana
transportasi merupakan salah satu sarana yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat
dalam upaya memperlancar mobilitas atau pergerakan dari satu wilayah kewilayah
lainnya. Sarana transportasi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat adalah kendaraan.
Sarana kendaraana ini berguna dalam pengangkutan massal, barang maupun objek
lainya salah satunya ternak kerbau. Sarana transportasi di pasar hewan Balu
cukup tersedia, baik untuk manusia maupun pengangkutan hewan ternak yang akan
diperdagangkan.
Gambar 2.3.3.1.3 .“Terminal yang ada di pasar Bolu”
2.
Sarana Parkir
Selain
sarana transportasi berupa kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat yang
terdapat di pasar Hewan Bolu, sarana yang sangan dibutuhkan juga yaitu sarana
parkir. Di pasar hewan Bolu, sarana parkir sangant membantu para pedagang
maupun konsumen untuk memarkirkan kendaraan yang mereka gunakan. Meskipun
terlihat bahwa sarana parkir yang terdapat di pasar hewan Bolusangat sederhana,
akan tetapi keberadaannya sangat dirasakan bermanfaat bagi pelaku-pelaku di
pasar hewan Bolu tersebut.
d.
Aktifitas
Perdagangan Hewan
Seperti halnya dengan aktifitas sosial
budaya masyarakat Toraja Utara yang sangat unik, aktifitas pemasaran ternak
kerbau di pasar hewan Bolu kabupaten Toraja Utara juga memiliki keunikan
tersendiri. Proses jual beli ternak yang sangat mengandalkan budaya yang
diwariskan oleh nenek moyang mereka terlihat dalam perdagangan ternak kerbau
tersebut. Seperti masyarakat yang masih banyak menggunakan sarung dalam
melakukan proses tawar menawar yang menarik dan lain sebagainya.
Aktivitas perdagangan ternak kerbau dan
ternak-ternak lainya di pasar hewan Bolu Kabupaten Toraja Utara berlangsung
setidaknya 5 atau 4 kali dalam sebulan. Aktifitas jual beli atau transaksi bali
kerbau di pasar ini mulai pada jam 06.00 sampai selesai.
Aktifitas perdagangan ternak kerbau maupun
ternak lainya seperti ternak babi, ayam dan lain sebagainya yang sangat unik
tersebut menjadi salah satu daya tarik
wisatawan baik mancanegaramaupun wisatwan domestik. Hal ini menjadi salah satu
sumber pedapatan asli daerah Kaupaten Toraja Utara.
Gambar
2.3.3.1.4 “Kandang Babi di pasar Bolu”
e.
Penetapan harga kerbau
Salah satu ternak besar yang bernilai
ekonomis yaitu Kerbau (Bubalus Bubalis).
Kerbau
adalah binatang yang cukup banyak diperjualbelikan di Toraja karena seringnya
diadakan pesta orang mati. Ada jenis kerbau yang sangat unik dan hanya terdapat
di Toraja yaitu kerbau belang. Orang Toraja menyebutnya Tedong Bonga. Tedong
Bonga ini hanya terdapat di Toraja Utara dan tidak terdapat di belahan manapun
di dunia ini. Walapun hal ini belum bisa
dibuktikan secara ilmiah namun hingga sekarang memang belum pernah ada orang
yang melihat Tedong Bonga selain di Toraja. Tedong Bonga ini juga harganya jauh
lebih mahal dari kerbau biasa.
Gambar 2.3.3.1.5 “salah satu
tedong bonga di pasar Bolu”
Pengaruh kerbau yang berlangsung
turun-temurun demikian dalam sehingga alam pikiran orang Toraja begitu
didominasi oleh kerbau. Langgengnya tradisi kedekatan dengan kerbau ini
ditopang oleh mitos seputar asal usul kerbau yang demikian berpengaruh terhadap
benak pemikiran dan sikap orang Toraja tentang kerbau. Kerbau dapat dikatakan
bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Walaupun secara umum kerbau
mempunyai nilai sosial tinggi, namun orang Toraja mempunyai cara menilai kerbau
mereka. Tinggi rendahnya nilai kerbau tergantung pada mutu kerbau menurut
penilaian yang berlaku umum, dan nampaknya sudah dipakai turun temurun sejak
jaman nenek moyang. Penilaian ini juga berlaku bagi para pedagang kerbau saat
ini dalam menentukan harga. Secara umum, orang Toraja menilai kerbau dari
tanduk, warna kulit dan bulu, dan postur, serta tanda-tanda di badan. Mutu
kerbau dapat dilihat dalam cara orang Toraja sendiri mengelompokkan kerbau
berdasar jenis yang mereka kenal. Salah satu bukti demikian pentingnya kerbau
dalam kebudayaan orang Toraja adalah dengan adanya sejumlah kategori dari
berbagai macam jenis kerbau.
1.
Berdasarkan tanduk
a)
Ukuran tanduk
Tanduk kerbau menentukan nilainya.
Namun, peran tanduk bagi kerbau jantan lebih penting dibandingkan pada kerbau
betina. Biasanya ukuran dan bentuk tanduk kerbau betina tidak terlalu
diperhitungkan. Tidaklah demikian dengan kerbau jantan. tanduk kerbau menjadi alat
dekoratif yang bermakna dalam masyarakat. Di rumah-rumah tongkonan tanduk
kerbau disusun di depan rumah, sebagai simbol status seseorang atau tongkonan.
Gambar
2.3.3.1.5.1 “tanduk kerbau yang tersusun di tongkonan”
Nilai satu kerbau muda ditentukan
oleh panjang tanduknya. Semakin panjang maka semakin berharga. Harga
otomatis akan turun bila terdapat cacat pada tanduknya, atau bentuknya tidak
proporsional dengan badan kerbau. Ukuran ini dipakai dalam transaksi yang
memakai kerbau. Umumnya, kerbau dipakai sebagai alat pembayaran dalam transaksi
jual beli tanah sawah atau kebun, gadai dan dalam pesta kematian. Sebagai alat
ukur tanduk, orang Toraja memakai ukuran anggota badan,( tangan) yaitu:
1)
Sang lampa taruno, artinya ukurannya sama dengan panjang ruas ujung
jari tengah orang dewasa.
2)
Duang lampa taruno, artinya ukurannya sama dengan panjang dua ruas jari
tengah orang dewasa.
3)
Sang rakka’, artinya ukurannya sama dengan panjang satu jari tengah
orang dewasa.
4)
Limbong pala’, artinya ukurannya sama dengan panjang setengah telapak
tangan orang dewasa.
5)
Sangkumabe’ artinya ukurannya sama dengan panjang telapak tangan orang
dewasa.
6)
Sang lengo, artinya ukurannya sama dengan panjang ujung jari hingga
pergelangan tangan orang dewasa.
7)
Sang pala’, artinya ukurannya sama dengan panjang pergelangan tangan
ditambah empat jari.
8)
Sang busukan ponto, artinya ukurannya sama dengan panjang pergelangan
tangan ditambah setengah lengan tangan orang dewasa.
9)
Alla’ tarin, artinya ukurannya sama dengan panjang hingga di atas siku
10) Inanna, artinya ukurannya
melewati siku.
b)
Bentuk tanduk
Selain
ukurannya, bentuk tanduk juga mempunyai arti penting dalam memberi nilai pada
kerbau. Orang Toraja membedakan bentuk tanduk sebagai berikut:
1)
Tanduk tarangga yaitu tanduk yang keluar dan membentuk setengah
lingkaran. Jenis ini sangat umum di Toraja. Untuk kerbau jantan, jenis ini
sangat kuat dalam adu kerbau.
2)
Tanduk pampang yaitu tanduk yang keluar melebar dan cenderung panjang.
Tanduk jenis ini biasanya terbentuk dari kerbau balian. Kerbau yang buah
pelernya sengaja dilepas untuk memperindah tanduk.
3)
Tanduk sikki’ yaitu tanduk yang arahnya hampir sama dengan tarangga
namun cenderung merapat bahkan ujungnya nyaris bertemu
4)
Tanduk sokko yaitu tanduk yang arahnya turun ke bawah dan hampir bertemu
di bawah leher. Dengan warna tertentu nilainya menjadi sangat mahal.
5)
Tekken Langi’ yakni tanduk yang mengarah secara berlawanan arah, satu
ke bawah dan satu ke atas.
Kriteria
tingkat mahalnya ternak kerbau di Tana Toraja antara lain dilihat dari tanduk
kerbau. Harga kerbau menjadi lebih mahal jika tanduk kerbau memiliki model yang
bagus dan seimbang dengan kepala, pusaran bulu terletak di atas hidung dan
pundak serta ekor kerbau yaitu harus melewati lututnya.
2.
Berdasarkan warna kulit
Selain bentuk dan ukuran tanduk, kesempurnaan seekor
kerbau ditentukan oleh warnanya. Warna juga menentukan nilai kerbau. Secara
garis besar masyarakat Toraja mengenal i 8 jenis variasi dari segi kombinasi
warna dan tanda-tandanya dari kerbau, antara lain:
a)
Bonga saleko atau bonga doti,
adalah jenis kerbau belang yang yang kombinasi hitam dan putih hampir seimbang
dan ditandai dengan taburan bintik-bintik di sekujur tubuhnya. Harga Bonga
saleko bisa mencapai 350 juta.
b)
tedong sanga’daran adalah
jenis kerbau yang dibagian mulutnya didominasi warna hitam.
c)
tedong randan dali’ adalah
jenis kerbau yang alis matanya berwarna hitam.
d)
tedong takinan gayang, adalah jenis kerbau yang di
punggungnya ada warna hitam menyerupai parang panjang.
e)
tedong ulu, adalah
jenis kerbau yang warna putih hanya di kepalanya, sedang bagian leher dan badan
berwarna hitam.
f)
tedong lotong boko’, adalah
jenis kerbau yang terdapat warna hitam di punggung.
g)
tedong bulan, adalah
jenis kerbau yang seluruh badannya berwarna putih. Jenis ini lebih
murah harganya yaitu 20 juta.
h)
tedong sori’, adalah jenis kerbau yang warna putih hanya di kepala
bagian mata. Jenis ini harganya jauh lebih murah lagi.
3. Berdasarkan
letak pusar rambut
Pusar
rambut yang normal terdapat dibagian hidung, pundak, dan pinggul. Pusar rambut
yang terdapat dibagian tengah leher sebelah atas tidak disenangi, karena
dipercaya bahwa jika dipotong atau hilang, maka orang yang memiliki kerbau
tersebut akan cepat meninggal. Pusar rambut yang letaknya dibagian scapula jika
kerbau tersebut pergi atau hilang maka tidak akan kembali dan pusar yang
terletak dibagian perut mengakibatkan kerbau tidak panjang umur.
Ternak kerbau yang memiliki karakteristik
tertentu, seperti kondisi fisik yang tegap, tanduk yang panjang dan melengkung,
pusaran rambut yang berada pada lokasi tertentu, warna bulu yang bagus, ekor
yang panjang tentunya akan memiliki harga yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan ternak kerbau yang fisiknya kurus, tanduk yang pendek, dan tidak
melengkung ke atas, pusaran rambut yang kurang jelas dan berada dibagian yang
tidak di inginkan oleh masyarakat serta ekor yang pendek.
ii.
Wisata Tongkonan di Palawa’
a.
Sejarah singkat tongkonan
Palawa’
Dahulu kala seorang lelaki dari Gunung
Sesean bernama “Tomadao” bertualang. Dalam petualangannya ia bertemu dengan
seorang gadis dari gunung Tibembeng bernama “Tallo’ Mangka kalena”. Mereka
kemudia menikah dan bermukim di sebelah timur desa Palawa’ sekarang ini yang
bernama Kulambu. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki bernama Datu
Muane yang kemudian menikahi seorang perempuan bermana Lai’ Rangri’. Kemudian
mereka beranak pinak dan mendirikan sebuah kampong yang sekaligus berfungsi
sebagai benteng pertahanan. Apabila ada peperangan antara kampung dan ada lawan
yang menyerang dan dikalahkan.dibunuh, maka darahnya diminum dan dagingnya
dicincang dan disebut pa’lawak. Pada pertengahan abad ke-11 berdasarkan
musyawarah adat disepakati mengganti nama Pa’lawak menjadi Palawa’. Palawak
sebagai suatu kompleks perumahan adat dan bukan lagi daging manusia yang
dimakan tetapi digantin dengan ayam dan disebut Pa’lawa’ manuk.
Keturunan Datu Muane secara
berturut-turut membangun tongkonan di Palawa’. Sekarang ini terdapat sebelas tongkonan
(rumah adat) yang urutannya sebagi berikut (dihitung dari sebelah Barat) :
1. Tongkonan Salassa’ dibangun oleh Salassa’
2. Tongkonan
Buntu dibangun oleh Ne’ Patan
3. Tongkonan Ne’ Niro dibangun oleh Patangke dan Sampe
Bungin
4. Tongkonan Ne’ Darre dibangun oleh Ne’ Matasik
5. Tongkonan Ne’ sapea dibangun oleh Ne’ Sapiah
6. Tongkonan Katile dibangun oleh Ne’ Pipe
7. Ne’ Malle
dibangun oleh Ne’ Malle
8. Tongkonan Sasana Budaya dibangun oleh Patampang
9. Tongkonan Bamba II dibangun oleh Patampang
10. Tongkonan Ne’ Babu’ dibangun oleh Ne’ Babu’
11. Tongkonan Bamba I dibangun oleh Ne’ Ta’pare
Gambar 2.3.3.2.1
“ tongkonan Palawa’ “
Sebagaimana layaknya
tongkonan di Toraja, maka tongkonan Palawa’ juga memiliki Rante yang disebut
Rante Pa’padanunan dan Liang tua (kuburan batu) di Tiro Allo dan Kamandi.
Selain tongkonan juga dibangun Lumbung atau alang sura’ (tempat penyimpanan
padi) sebanyak 5 buah.
b. Gambaran umum wisata tongkonan di Palawa’
Tongkonan
adalah rumah adat masyarakat Toraja. Atapnya melengkung menyerupai perahu,
terdiri atas susunan bambu (saat ini sebagian tongkonan menggunakan atap seng).
Di bagian depan terdapat deretan tanduk kerbau. Bagian dalam ruangan dijadikan
tempat tidur dan dapur. Tongkonan digunakan juga sebagai tempat untuk menyimpan
mayat. Tongkonan berasal dari kata tongkon (artinya duduk bersama-sama).
Tongkonan dibagi berdasarkan tingkatan atau peran dalam masyarakat (stara
sosial Masyarakat Toraja). Di depan tongkonan terdapat lumbung padi, yang
disebut “alang”. Tiang-tiang lumbung padi ini dibuat dari
batang pohon palem (bangah) saat ini sebagian sudah dicor. Di bagian depan
lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari, yang
merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara.
Tongkonan
Palawa’ adalah salah satu tongkonan yang berada di antara pohon-pohon bambu di
puncak bukit. Tongkonan tersebut didekorasi dengan sejumlah tanduk kerbau yang
ditancapkan di bagian depan rumah adat. Terletak sekitar 12 Km ke arah utara
dari Rantepao. Antara 02º54'26,0"LS dan 119º56'22"BT, dengan elevasi
880mdpl.
Gambar 2.3.3.2.2 “Peta lokasi wisata Tongkonan di Palawa’ “
Gambar
2.3.3.2.2.1 “Tanduk tedong yang tersusun di tongkonan Palawa’ “
Gambar
2.3.3.2.2.2 “salah satu alat tenun di tongkonan Palawa’”
Gambar
2.3.3.2.2.3 “Salah satu kios yang ada di wisata Palawa’ “
iii.
Wisata alam di Batutumonga
Jika ingin menikmati panorama tana toraja dari atas ketinggian, dengan hamparan sawah
dan kota rantepao di bawah lembah, Batutumonga
adalah tempatnya.
Batutumonga
terletak di lereng Gunung Sesean yang merupakan gunung tertinggi di toraja, tempat ini selain terkenal karena keindahan alamnya, juga memiliki
udara sejuk. Tidaklah heran jika Batutumonga menjadi semacam Puncak bagi
orang-orang Toraja. Batutumonga
adalah sebuah objek wisata yang eksotik terletak di lereng Gunung Sesean,
tepatnya di Kecamatan Sesean Suloara. Batutumonga hanya
24 km di sebelah utara kota Rantepao,
yang dapat ditempuh dalam waktu satu hingga satu setengah jam dengan kendaraan. Perjalanan
menuju Batutumonga dapat ditempuh lewat Rantepao menuju ke arah timur di
Rantepangli, disini terdapat pertigaan, jalanan lurus menuju Sa’dan dan jalanan
ke kiri menuju Bori. Perjalanan ke Batutumonga ditempuh melalui Bori.
Dari lirik lagu diatas, kita dapat menggambarkan tentang
Batutumonga. Batutumonga dikenal karena pemandangannya yang mempesona. Hamparan terasering sawah
petani, kampung tradisional dan pemandangan kota Rantepao, dapat kita saksikan.
Gambar 2.3.3.3.2
“Pemandangan alam di Batutumonga”
Gambar 2.3.3.3.3 “Pemandangan
alam di Batutumonga pada bulan maret-april”
Saat panen tiba, padi yang menguning
ditimpa sinar mentari bagaikan hamparan emas, membentang di hadapan kita.
Kunjungan kita ditempat ini
akan sempurna saat kita mencoba rasa nikmatnya kopi teraja pada kafe dan
restaurant yang ada di Batutumonga.
Gambar 2.3.3.3.4 “Salah
satu coffee shop yang ada di Batutumonga”
kecantikan tempat ini mungkin baru maksimal saat pagi-pagi sekali.
Konon, beberapa kesaksian mengungkapkan bahwa menginap di Batutumonga bagaikan
tidur di atas awan. Pada pagi hari, kita akan terbangun dan menemukan gumpalan
kabut dan awan memenuhi lereng di bawah kaki kita. Sayangnya, akses menuju
Batutumonga cukup sulit dan pada malam hari, keramaian tidak seramai Rantepao
atau Makale. Batutumonga memang layak untuk kita yang benar-benar ingin kembali
bersatu dengan alam dimana hanya suara jangkrik yang terdengar pada malam hari.
iv.
Liang Pa’a di Deri
Suku Toraja Sulawesi Selatan, Indonesia, terkenal dari cara mereka
memperlakukan kematian dan tanah pemakaman yang unik yang memahat batu.
Salah satu tujuan wisata paling indah di Indonesia yang memiliki
perbukitan hijau. Suku Torajaadalah sebuah suku yang masih menghormati gaya
hidup Austronesia tua. Kebanyakan beragama Kristen, , namun jejak-jejak
kepercayaan lama masih tetap ada dan yang paling terlihat selama perayaan adat
pemakaman dan penguburan. Toraja cukup terobsesi dengan kematian, tetapi tidak
dalam arti tragis, untuk pemakaman seperti orang-orang yang akan pergi
dirayakan dengan mengorbankan puluhan kerbau dan babi untuk pesta yang dinikmati
oleh seluruh masyarakat. Tana Toraja menggunakan Pemakaman kuburan batu.
Perhatian
utama seorang anggota suku Toraja adalah untuk memastikan dia memiliki cukup
uang sehingga keluarganya bisa membuat pesta terbaik di kota, ketika ia
meninggalkan dunia. Tubuh mereka disimpan di tongkonan selama bertahun-tahun
setelah kematian mereka. Selama waktu ini keluarga yang melihat orang itu bukan
sebagai "almarhum" tetapi sebagai "orang yang sakit", sampai
mereka dapat mengumpulkan uang untuk pemakaman sebenarnya, yang biasanya
dihadiri oleh ratusan tamu. Orang yang meninggal ditempatkan di makam yang
digali di tebing di dekatnya, atau dalam peti mati kayu tergantung di sisi
pegunungan. Daerah Deri merupakan kampung yang memiliki banyak batuan-batuan
besar yang dapat dijadikan sebagai “Liang Pa’a“(kuburan batu). Itulah sebabnya
daerah ini dikelilingi oleh banyaknya Liang Pa’a.
Gambar 2.3.3.4.2 “Persawahan
di Deri dilihat dari Bukit Tinimbayo”
Deri adalah sebuah kampung
kecil di lereng Gunung Sesean, yang secara administratif merupakan sebuah kelurahan
yaitu Kelurahan Deri, Kecamatan Sesean, Kabupaten Toraja Utara – Propinsi
Sulawesi Selatan.
Gambar 2.3.3.4.1 “Peta Lokasi Deri “
Dengan ukuran sekira tubuh
gajah dewasa atau sebagian bahkan tiga kali lipatnya, batu-batu itu terlihat
seperti raksasa. Strukturnya bulat. Dari jauh terlihat mulus berwana hitam agak
kusam. Batu-batu itu di tengah sawah di mana petani biasa menanam padi
sehari-hari. Berada di lokasi sawah yang berundak, seperti terasering, maka
pemandangan itu amat menarik hati.
Lokasi ini berada di sisi
utara Rantepao, ibukota Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi selatan. Dari
ketinggian ini akan terlihat kota Rantepao yang mirip sepotong bakso di tengah
mangkuk. Pegunungan yang mengelilingi kota inilah mangkuk tersebut. Dan,
sawah-sawah dengan bebatuan raksasa di tengahnya ini ibarat lukisan di pinggir
mangkuk tersebut.
Gambar
2.3.3.4.2 “Persawahan di Deri”
Menurut mitos masyarakat
setempat, batu-batu itu jatuh begitu saja dari langit, seperti juga orang
Toraja menganggap begitulah kehadiran leluhur mereka dulu kala.
Bebatuan raksasa ini tak
hanya di sawah. Dia juga ada di jejeran bukit-bukit yang sambung menyambung
membentuk lekukan mangkuk itu tadi. Ada yang terpisah sendiri dengan tinggi
sekitar 15 meter. Ada pula yang menempel pada deretan bebukitan tersebut.
Lalu, pada batu-batu
raksasa itu pula orang Toraja mengembalikan leluhur mereka. Lewat tradisi
upacara kematian yang bisa menghabiskan ratusan juta atau bahkan milyaran,
mereka mengistirahatkan jasad setiap orang yang sudah meninggal di tempat
bernama liang ini. Mereka membuat ceruk sekitar 2 x 3
meter di dalam batu-batu raksasa itu. Jadilah semacam gua kecil. Lalu, jasad
mereka yang sudah meninggal disemayamkan di kuburan ini. Namun,
penguburan ini tak harus melalui upacara besar yang menjadi salah satu daya
tarik Tana Toraja.
Gambar
2.3.3.4.3 “Kuburan batu di Deri”
“Gambar2.3.3.4.4
“Kuburan batu di Deri (masih dalam proses pengerjaan)”
Letak lubang-lubang ini cukup tinggi yakni mencapai beberapa meter.
Mayat dimasukkan ke dalam dengan tangga atau ditarik dengan tali.
Sedangkan ukuran lubang cukup besar sekitar 3 x 5 meter. Untuk membuat lubang ini dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, berkisar Rp 50 juta. Lubang dibuat dengan cara memahat bukit batu secara manual. Pekerjaan membuat lubang ini biasanya memakan waktu enam bulan hingga satu tahun.
Sedangkan ukuran lubang cukup besar sekitar 3 x 5 meter. Untuk membuat lubang ini dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, berkisar Rp 50 juta. Lubang dibuat dengan cara memahat bukit batu secara manual. Pekerjaan membuat lubang ini biasanya memakan waktu enam bulan hingga satu tahun.
v.
Kalimbuang di Bori’
Kalimbuang
Bori merupakan sebuah situs megalit yang terdapat di Tana Toraja Sulawesi
Selatan. Jarak nya tidak terlalu jauh dari Ibu Kota Toraja Utara yaitu sekitar
5km dari Kota Rantepao, berada di Kecamatan Sesean di Toraja bagian utara.
Gambar 2.3.3.5.1 “Peta lokasi Kalimbuang Bori’ “
Obyek wisata utama adalah Rante (Tempat
upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan 100 buah menhir/megalit),
dalam Bahasa toraja disebut Simbuang Batu. 102 bilah batu menhir yang berdiri
dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah ukuran sedang dan 54
buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini mempunyai nilai adat yang sama. Penyebab
perbedaan adalah perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan
batu. Megalit/Simbuang Batu hanya diadakan bila pemuka masyarakat yang
meninggal dunia dan upacaranya diadakan dalam tingkat Rapasan Sapurandanan
(kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor).
Gambar 2.3.3.5.2 “Batu Simbuang di Bori”
Batu
menhir diambil dari gunung atau dari batu-batu yg bertebaran di Tator, besar
kecil nya ukuran batu disesuaikan dengan permintaan keluarga yang mengadakan
acara upacara.
Batu-batu megalitik sulit untuk menemukan, dan
jika ditemukan, bentuk mereka sering disembunyikan karena mereka sebagian
tertutup dengan bumi. Susah dicari dan bila didapat sukar untuk ditentukan bentuk yang bagus atau tidak karena kadang-kadang hanya sedikit bagian batu itu yang menyembul di permukaan Tanah.
Orang mangimbo atau doa-doa yang dipimpin
oleh Tominaa atau Alukta, sebelum memulai pengalian. Diharapkan nantinya dapat batu yang besar dan bagus bentuknya Yang dipercaya dapat pula memberi
keberuntungan. Dikorbankan seekor babi setiap hari selama
penggalian, kadang-kadang dibutuhkan waktu sampai lima Tiga Hari.
Gambar 2.3.3.5.3 “Batu simbuang yang sementara dipahat di pinggir
jalan Deri”
seorang To’mapa yaitu orang
yang mahir memahat sudah membentuk batu ini di atas gunung. To’mapa mengambil
batu itu langsung dari tebing gunung dan kemudian di potong di tempat. Hebatnya
alat yang digunakan semuanya masih tradisional yaitu dengan pahat dan martil. Setelah
ditentukan ukuran dan besarnya akhirnya To’mapa mulai bekerja. Waktu
pemotongannya saja bisa sampai berbulan bulan. Dan saat sudah selesai, langsung
di bawa menuju lokasi ini dengan tenaga ratusan manusia. Wajar saja kalau
sampai ratusan manusia yang menariknya. Pasalnya untuk satu buah batu saja
beratnya ada yang mencapai 5 – 7 ton. Itu harus ditarik oleh manusia dan
tidak boleh menggunakan alat berat lainnya.
Gambar
2.3.3.5.4 “Ma’tare’ kayu”
Lamanya
penarikan bisa sampai berbulan bulan juga mengingat jaraknya yang cukup jauh
serta medan yang dilalui cukup berat. Dari situ kita mendapat pelajaran bahwa
masyarakat Toraja memiliki rasa kekeluargaan dan gotong royong yang tinggi.
Ada seorang yang memberi aba-aba Sambil berdiri diatas batu Yang ditarik. Kadang-kadang tali-temali Dari bambu Putus, Sambil
tali-temali Yang Baru dipasang banyak Yang ma'badong yaitu Humanitarian &
nyanyian kedukaan mengelilingi batu dan saling mengandengkan jari Keliling.
Mereka dapat berhenti & beristirahat beberapa Hari untuk memulihkan Tenaga
atau oleh karena gangguan cuaca seperti Hujan. Dan lagi-lagi babi-babi di korbankan untuk memberi makan para
penarik batu.
Sesampainya
di Rante, Ujung batu yang lebih besar ditanamkan di lubang yang telah digali kira-kira sepertiga Dari Panjang atau tingginya batu
Simbuang. Sedangkan dua pertiganya menjulang tegak kokoh menghadapkan sisinya Yang dianggap depannya ke arah yang baik. Semakin banyak upacara pemakaman
diadakan di Rapasan Rante, semakin bertambah jumlah batu-batu Simbuang yang didirikan. Batu Simbuang digunakan juga sebagai tempat untuk membuka posisi untuk menambatkan Kerbau
selama Upacara Rambu Solo'
berlangsung sampai pada hari pemotongan Kerbau..
Ditengah
lokasi batu-batu menhir ini terdapat sebuah panggung tertinggi diantara yg lain
nya yg di sebut “Lakkian” yaitu tempat jenazah di semayamkan selama upacara di
laksanakan.
“Gambar 2.3.3.5.5 “Lakkian yang ada di Kalimbuang Bori”
Pada tahun 1657 Rante Kalimbuang mulai
digunakan pada upacara pemakaman Ne'Ramba' di mana 100 ekor kerbau dikorbankan
dan didirikan dua Simbuang Batu. Selanjutnya pada tahun 1807 pada pemakaman
Tonapa Ne'padda' didirikan 5 buah Simbuang Batu, sedang kerbau yang dikorbankan
sebanyak 200 ekor. Ne'Lunde' yang pada upacaranya dikorbankan 100 ekor kerbau
didirikan 3 buah Simbuang Batu. Selanjutnya berturut-turut sejak tahun 1907
banyak Simbuang Batu didirikan dalam ukuran besar, sedang, kecil dan secara
khusus pada pemakaman Lai Datu (Ne'Kase') pada tahun 1935 didirikan satu buah
Simbuang Batu yang terbesar dan tertinggi. Simbuang Batu yang terakhir adalah
pada upacara pemakaman Sa'pang (Ne'Lai) pada tahun 1962.
Masih ada juga bangsawan Toraja / Bula’an Rapasan yang
pada waktu Upacara Rambu
Solo' mendirikan batu Simbuang di Rante sampai sekarang. Tetapi kebanyakan batu
yang mereka gunakan adalah batu pahatan Simbuang
Dalam Kompleks Rante Kalimbuang
tersebut terdapat juga hal-hal yang berkaitan dengan upacara pemakaman yang
membuat kita mengetahui lebih banyak tentang Bori' Kalimbuang. Dilokasi
Kalimbuang Bori selain terdapat batu menhir juga terdapat makam-makam yang di
taruh di dalam pahatan batu. Kalo kita teruskan jalan ke belakang terdapat
perkampungan penduduk. Di belakang juga ada makam bayi di gantung di pohon
Tarra’, pohon besar diatas tengah nya di buatkan lubang dan jenazah bayi
tersebut di masukan kedalam.
Gambar
2.3.3.5.6 “Kuburan bayi di Kalimbuang, Bori”
vi.
Toko Kerajinan di Rantepao
Ada banyak toko souvenir di Rantepao di mana kita dapat membeli
barang khas Tanah Toraja seperti pakaian, tas, dompet, dan kerajinan lainnya.
Di Rantepao, kita dapat menemukan biji kopi Toraja berkualitas tinggi
seperti Robusta dan Arabika.
Gambar 2.3.3.6.1 “Kopi
Toraja sebelum digiling”
Di sini kita juga dapat menemukan kalung manik-manik antik nan
cantik. Kita dapat membeli berbagai cenderamata untuk oleh-oleh seperti kaos
bergambar tongkonan, kain tenun khas Tana Toraja, peralatan rumah tangga dari
kayu dengan ukiran khas Tana Toraja, dan masih banyak lagi.
Gambar 2.3.3.6.2 “Suasana
Pertokoan di Rantepao”
Selain itu, banyak juga terdapat ukir-ukiran hingga
miniatur Tongkonan dan topeng-topeng khas Toraja. Yang pasti semua
koleksi yang dijual disini tidak akan dapat dengan mudah kita temukan di tempat
lain (maksudnya di luar Tana Toraja). Buat miniature Tongkonan, kami sangat
salut sekali dengan para pembuatnya. Karena mampu membuat miniatur Tongkonan
dengan sangat nyata bahkan hingga ke susunan atapnya. Untuk membuat Tongkonan
yang besar mungkin tidak terlalu masalah bagi warga Tana Toraja, namun
Tongkonan kecil pastinya membutuhkan kemampuan khusus dan ketelitian yang
tinggi untuk merakitnya.
Gambar 2.3.3.6.3 “Souvenir
tongkonan”
Di beberapa di pasar tradisional setempat dapat Anda temukan buah-buahan
seperti tamarella atau terong belanda dan ikan mas.
vii.
Ke’te’ Kesu’
Wisata Ke'te' Kesu' terletak sekitar 3
km sebelah tenggara dari Rantepao dan dapat dijangkau kendaraan bermotor, baik
kendaraan rental maupun angkutan umum.
Gambar
2.3.3.7.1 “Peta Lokasi Ke’te’ Kesu’ “
Ke'te Kesu' adalah kompleks
miniatur warisan budaya toraja berupa pemukiman tradisional. Sebagai kompleks
pemukiman tradisional, di objek wisata Ke'te Kesu' dapat dijumpai rumah
tradisional lengkap dengan lumbungnya, kompleks pemakaman tradisional dengan
liang batu batu dan peti kayu berukir yang memuat satu keluarga, serta
lapangan/pelataran untuk upacara adat dimana masih terdapat menhir-menhir dari
upacara yang pernah diadakan di masa yang lalu.
a.
Rumah
& Lumbung Tradisional
Rumah tradisional atau rumah adat toraja disebut
Tongkonan, dan lumbung tradisional disebut alang. Tongkonan maupun Alang selalu
dibangun membujur dari Utara - Selatan dan saling berhadapan. Tongkonan di
sebelah selatan menghadap ke Utara, sementara Alang di sebelah Utara menghadap
ke Selatan.
Gambar 2.3.3.7.2 “Foto bersama Pend.Geografi’10
dengan background Tongkonan di Ke’te’ Kesu’ “
b.
Pemakaman
Tradisional
Pemakaman tradisional untuk bangsawan adalah liang kubur
yang dipahat di tebing-tebing batu. Dari era sebelum dikenalnya liang kubur
batu, model peti kayu berukir yang memuat satu keluarga banyak digunakan di
Toraja karena lebih mudah dibuat. peti-peti kayu ini memiliki berbagai bentuk,
baik menyerupai Babi, Kerbau, maupun berbentuk Rumah Tongkonan. Di kompleks
pemakaman Ke'te Kesu' kedua jenis peti/kuburan ini masih dapat ditemukan.
Gambar 2.3.3.7.3 “Patane di Ke’te’ Kesu’ “
Gambar 2.3.3.7.4 “Erong yang menyerupai rumah
tongkonan, babi, dan kerbau”
Gambar
2.3.3.7.5 “Kuburan dalam goa di Ke’te’ Kesu’ “
c.
Lapangan/Pelataran
upacara adat
Masyarakat Tradisional Toraja tidak dapat dipisahkan dari
upacara Adat, oleh karena itu setiap pemukiman memiliki lapangan upacara yang
disebut Rante. Di sinilah upacara adat diadakan, baik Rambu Solo' dan Rambu
Tuka'.
Gambar 2.3.3.7.6 “Rante di Ke’te’ Kesu’, tempat
upacara rambu tuka’ dan rambu solo’ diadakan”
Dengan adanya rumah
tradisional, pemakaman, dan lapangan upacara adat, objek wisata Ke'te Kesu
merupakan salah satu kompleks pemukiman tradisional toraja yang paling lengkap.
Objek wisata ini juga dikelilingi hamparan persawahan dan rumpun bambu yang
selalu menjadi ciri khas pemukiman asli toraja.
Menurut literature dari internet, 3
bulan sebelum kami praktek di lokasi Ke’te’ Kesu’ telah diadakan upacara
kematian di Ke’te’ kesu’. Isi literature yang diposkan oleh Simon Daijon pada tanggal 30
Agustus seperti...
Rambu Solo'
Rambu solo’ atau upacara kematian yang
sering dilaksanakan di Toraja sudah tidak asing lagi didengar di sebagian
kalangan masyarakat. Khususnya masyarakat Toraja. Upacara kematian atau
biasanya disebut dengan sebutan Rambu solo’ oleh masyarakat lokal adalah sebuah
upacara kematian yang sangat unik dan sangat meriah. Upacara kematian upacara
ini bisa berlangsung selama beberapa hari atau biasanya hampir berminggu-
minggu dan menghabiskan banyak dana. Dan untuk persiapannya memakan waktu
berbulan- bulan atau bertaahun- tahun.
Baru- baru ini, telah dilaksanakan
sebuah upacara Rambu Solo’ di kabupaten Toraja Utara, tepatnya di salah satu
objek pariwisata terkenal di Toraja yaitu Ke’te Kesu. Almarhum yang
diupacarakan bernama Sindo’ Toding. Salah satu keturunan Bangsawan yang ada di
Toraja. Upacara ini berlangsung hampir dua minggu. Dan persiapan untuk membuat
pemondokan dan hal- hal lainnya yang akan digunakan dalam upacara, hampir
memakan waktu hampir satu tahun, dan memakan dana ratusan bahkan mungkin hampir
miliaran rupiah.
Upacara Rambu Solo’ yang dilaksanakan
di Ke’te Kesu ini disebut sebaga Upacara Massapu Randanan. Disebut demikian
karena, keluarga dari Almarhum tidak hanya akan memotong kerbau dan babi pada
upacara tersebut. Tetapi akan memotong domba, kambing, bahkan kuda. Dan minimal
kerbau yang harus mereka potong sebanyak 24 ekor kerbau. Upacara Rambu Solo’
ini terbagi atas dua kali rentang waktu. Pertama, yaitu upacara yang disebut
Aluk Pia. Di mana, upacara ini dilaksanakan di sekitar Tongkonan atau kediaman
keluarga yang ditinggalkan. Dan yang kedua adalah Upacara Rante. Upacara ini
dilaksanakan di sebuah lapangan khusus yang tidak terlalu jauh dari lokasi
Tongkon. Kedua rentang upacara ini masih terbagi- bagi.
Yang pertama adalah Aluk Pia. Upacara
ini dimulai dari acara Ma’pasulluk yang dilaksanakan pada tangga 16 juli tahu
2012. Dimana, kerbau yang akan dipotong akan dikumpulkan di tempat upacara akan
berlangsung, dan dihias dengan berbagai macam pernak- pernik. Beberapa
diantaranya punggungnya ditutupi oleh sebuah kain yang disebut dengan Maa’.
Maa’ adalah semacam kain tenun yang berumur ratusan tahun dan tidak pernah
dicuci. Setelah semua kerbau terkumpul, semua kerbau tersebut dibawa untuk
mengelilingi tiga buah alang atau lumbung sebanyak tiga kali. Tetapi, sebelum
kerbau itu dibawa untuk mengelilingi Alang, ada dua orang yang membawa gong dan
salah satunya membunyikan gong tersebut lalu ada beberapa orang yang membawa
bendera yang berasal dari kain Maa’ dengan tiang dari bambu dan terakhir
diikuti oleh para kebau.
Setelah selesai, mereka kembali
berkumpul di tengah- tengah lokasi upacara, bendera yang dibawa tadi
ditancapkan tepat di depan salah satu rumah tongkonan atau rumah adat toraja
yang dimana, di teras rumah tongkonan tersebut telah diletakkan patung sang
Almarhum. Kemudian, mereka akan mengumumkan siapa yang memiliki kerbau yang
akan dipotong dan nama setiap kerbau. Mereka diberi kebebasan untuk memberikan
nama kepada kerbau mereka. Sedangkan setiap pengembala kerbau akan diberikan
enam buah pokon, semacan nasi ketan yang dimasak menggunakan santan lalu
dibungkus menggunakan daun salak, kemudian di kukus. Selain pokon, mereka juga
akan diberikan sepotong daging babi yang telah direbus di dalam panci besar dan
setiap sorenya, selama upacara Rambu Solo’ dilaksanakan, akan ada adu kerbau.
Kecuali pada saat Ma’ Parokko Alang, Ma’ Roto’, Mantunu serta Ma’Kaburu’.
Pada hari berikutnya, tepatnya pada
tanggal 18 Juli adalah Upacara Mangriu’ Batu. Upacara ini termasuk upacara
Rante. Pada upacara ini, semua masyarakat yang berada disekitar tempat upacara
akan datang untuk menarik batu mulai dari tempat mereka mengambilnya sampai ke
rante. Tempat untuk meletakkan jenazah saat upacara inti dan tempat untuk
memotong kerbau dan babi. Batu yang mereka ambil pada saat itu berada sekitar
hampir dua ratus meter dari rante dengan ukuran 3x1 meter. Jumlah masyarakat
yang datang untuk menarik batu dengan ukuran sebesar itu cukup banyak. Menurut
salah seorang yang datang untuk menarik batu, jumlah mereka hampir dua ratus.
Batu yang ditarik tersebut menandakan bahwa ada satu lagi orang yang dimakamkan
dengan uapacara Massapu randanan atau biasa juga disebut mangrapai’.
Saat mereka menarik batu tersebut, ada
salah seorang yang memberikan komando dan berbicara kotor dalam upacara
tersebut dibenarkan. Semua orang yang manarik batu, bagitupun dengan orang
memberikan komando dibebaskan untuk mengatakan hal- hal yang kotor . Hal itu
dilakukan karena, menurut kepercayaan masyarakat Toraja, jika mereka tidak
mengatakan hal- hal yang kotor, batu yang mereka tarik tidak akan berpindah.
Selain itu, di Toraja, tidak sembarang orang diperkenankan untuk ditarikkan
batu. hanya untuk yang berdarah bangsawan yang bisa diupacarakan dengan aturan
tersebut. Walaupun mereka memotong kerbau lebih dari seratus, tetapi mereka bukanlah
keturunan bangsawan, hal itu tidak diperkenankan. dan batu yang mereka tarik
tidak akan berpindah tempat berapapun jumlah orang yang menarikkanya jika orang
yang telah meninggal tidak layak untuk hal tersebut.
Kemudian di hari selanjutnya, tepatnya
tanggal 19 juli adalah Upacara Ma’Pasa’ Tedong. Upacara ini dilaksanakan di dua
tempat. Pertama di Tongkonan, kemudian di Rante. Hampir sama dengan
Ma’Pasulluk. Bedanya, pada upacara ini, semua kerbau baik yang akan dipotong
maupun yang tidak akan dipotong, atau kerbau yang disumbangkan oleh keluarga
yang lain, dari pemerintah, atau instansi lain akan dikumpulkan dan akan dibawa
berarak- arakan dan terakhir semua kerbau tersebut dikumpulkan di sekitar
rante, tepat di sekeliling Balaa’ Kaan. Balaa’ Kaan adalah sebuah pondok kecil
yang berukuran sekitar 4 meter persegi dengan disanggah oleh empat tiang dan
tingginya dari bawah tanah sekitar 4 meter. Dua meter dari tanah akan dipasangi
lantai yang terbuat dari kayu kemudian diberi atap. Tempat itu adalah tempat untuk
membagi- bagikan daging pada Upacara Mantunu.
Kemudian keesokan harinya dilakasanakan
upacara Ma’ parokko Alang atau menurunkan jenazah ke dari rumah adat Toraja
atau Tongkonan ke lumbung untuk disemayamkan secara sementara. Upacara ini
dilaksanakan pada malam hari dan bertempat di lokasi tongkonan. Kemudian,
keesokan harinya, keluarga akan mengadakan ibadah dan malamnya diadakan upacara
Ma’roto’. Yaitu membubuhkan ornamen- ornamen ke peti jenazah yang telah dibuat
bundar. Ornamen- ornamen tersebut berupa kain merah yang dipasangkan ke seluruh
bagian peti, kemudian dihias dengan kertas yang berwarna emas dan telah
dipotong berdasarkan motif ukiran khas toraja. Upacara ini juga masih dilakukan
di sekitar Tongkonan.
Kemudian, tepatnya pada tanggal 23 Juli.
Dilaksanakanlah upacara Ma’ Palao. Pada upacara ini, peti mati beserta patung
orang yang telah meninggal akan dibawa berarak- arakan menggunakan Sarinngan
atau alat untuk menopang peti. Saringgan ini dibuat seperti miniatur dari Rumah
Tongkonan dan dibawa menuju ke Rante dan diletakkan di sebuah tempat yang
disebut Lakkian. Arsitektur dari Lakkian ini menyerupai Alang. Hanya saja,
Lakkian lebih tinggi dibandingkan dengan Alang. Upacara Ma’palao ini termasuk
Upacara Rante.
Keesokan harinya upacara yang diadakan
disebut upacara Mantarima tamu dan diadakan di lokasi Tongkonan. Setiap tamu
akan dibawa secara berombongan menuju ke dalam sebuah pemondokan yang cukup
luas yang disebut Inan Pa’tammuan. Setiap rombongan pada bagian depan ada
beberapa kerbau yang dibawa oleh orang yang datang melayat, kemudian berpuluh-
puluh babi lalu diikuti oleh seseorang yang disebut Tau Ma’randing, yaitu orang
yang akan menunjukkan tempat para tamu akan duduk, dan dari belakangnya diikuti
oleh semua orang yang datang melayat dengan membuat barisan yang cukup panjang.
Setiap rombongan dapat mencapai seratus lebih orang dan dalam satu hari, jumlah
Rombongan yang masuk ke inan pa’tammuan sekitar sepuluh rombongan.
Setelah para tamu atau rombongan tiba
di Inan Pa’tammuan, maka para wanita yang telah ditunjuka akan membawakan
minuman dan makanan untuk para tamu tersebut. Orang yang membawa minuman
tersebut disebut Tau Ma’ Pairu’. Jumlah mereka sekitar seratus orang. Tetapi,
sebelum mereka melayani para tamu, para
pria akan mempertunjukkan sebuah tarian sederhana yang disebut Ma’badong,
mereka akan membentuk lingkaran, memegang tangan satu sama lain, lalu mulai
menari dengan mengangkat tangan dan menyanyikan lagu yang liriknya cukup
sederhana. Selain untuk menghibur, Ma’badong juga bertujuan untuk mengantarkan
arwah Almarhum ke Puyo atau alam baka. Ketika para pria sedang Ma’ Badong, maka
para wanita beriringan menuju ke Inan Pa’Tammuan untuk melayani para tamu
setelah anak atau keluarga dekat dari Almarhum memberikan sekapur sirih atau
rokok kepada para tamu.
Upacara ini berlangsung selama dua
hari. Pada hari kamis, mereka akan beristirahat untuk mempersiapkan upacara
pada hari berikutnya. Pada tangga 27 Juli, diadakanlah upacara mantunu, atau
upacara pemotongan semua hewan yang akan dikurbankan. Upacara ini akan diadakan
di Rante. Pada upacara yang ada di Ke’te Kesu, jumlah kerbau yang dipotong
sekitar 40 ekor dan yang tidak dipotong sekitar 45 ekor lebih. Sedangkan untuk
babi tidak terhitung jumlahnya.
Hari terakhir dari upacara ini adalah
upacara Ma’ Kaburu’. upacara ini dilaksanakan pada tanggal 28 Juli. Pada
upacara ini, peti jenazah akan disemayamkan di Patene, tempat peristirahatan
terakhir. Patane ini berbentuk seperti sebuah rumah kecil. Tetapi, sebelum
jenazah di bawa ke patane, jenazah akan kembali dipindahkan ke Tongkonan
bersama dengan patung orang yang telah meninggal dan keluarga akan melaksanakan
ibadah singkat setelah itu makan siang dan terakhir peti jenazah dan patungnya
akan dibawa ke patane.
Itulah hari terakhir dari uapacara Rambu Solo’. Cukup rumit memang dan
menghabiskan banyak biaya. Tetapi, itu adalah sebuah keharusan yang harus
mereka lakukan sebagai penghormatan terakhir kepada keluarga yang telah
meninggal.
Keindahan Ke’te Kesu
Keindahan Ke’te Kesu
Toraja Utara adalah sebuah kabupaten
yang sangat indah dan berada di Provinsi Sulawesi Selatan. Toraja Utara
merupakan hasil pemekaran dari Toraja Utara. Walaupun usia Kabupaten ini bisa
dikatakan masih sangat muda, yaitu empat tahun, tetapi keeksotikannya sangat di
kenal oleh masyarakat luas, khususnya di mancanegara. Keindahan pegunungan yang
menjulang tinggi dan sawah- sawah yang menghampar luas, serta daerah- daerah
wisata dan budaya masayarakat yang sangat indah dan unik membuat para wisatawan
susah untuk melewatkan kabupaten ini.
salah satu tempat wisata yang paling
terkenal di Toraja Utara adalah Ke’te Kesu. Tempat wisata ini berjarak sekitar
empat kilometer dari kota Rantepao. Di tempat wisata ini terdapat sebuah
perkampungan rumah adat Toraja yang biasanya disebut Tongkonan. Ke’te Kesu
disebut- sebut sebagai daerah wisata paling lengkap di Toraja Utara karena,
para wisatawan tidak hanya akan mendapatkan beberapa Tongkonan yang berjejer
rapi. Tetapi, mereka juga akan mendapatkan beberapa lumbung padi atau
masyarakat lokal biasa menyebutnya dengan sebutan Alang yang berdiri tepat di
depan setiap Tongkonan. Gaya arsitektur antara Alang dan Tongkonan tidak jauh
berbeda. Hanya, ukuran Tongkonan yang lebih besar dari alang dan bagian
bawahnya yang di mana, Alang terdiri atas empat tiang dan Tongkonan kurang
lebih terdiri atas dua puluh tiang.
Tidak hanya sampai di situ, di Ke’te
Kesu, kita akan dapat menemukan sebuah Rante, atau tempat di mana masyarakat atau keluarga yang
memiliki hubungan darah dengan nenek moyang yang berasal dari ke’te kesu
melaksanankan upacara adat. Di sana terdapat begitu banyak batu besar yang
ditanam di sana. Kita biasa menyebutnya dengan sebuatan Menhir. Banyaknya batu
yang ditanam di Rante menandakan banyaknya orang yang telah meninggal
diupacarakan dengan sebuah upacara khusus yang biasanya disebut dengan sebutan
massapu randanan.
Massapu randanan adalah upacara
pemakaman atau upacara Rambu solo’ begitu orang Toraja menyebutnya adalah
upacara pemakaman yang paling tinggi di Toraja. Khususnya di Toraja Utara. Dan
hanya diperkenankan untuk orang yang berdarah bangsawan. Di upacara ini.
Keluarga dari orang yang telah meninggal harus memotong kerbau minimal 20 ekor.
Dan hewan lainnya seperti babi, domba, kuda, kambing dan sebagainya, jumlahnya
tidak ditentukan.
Beraliah
dari rante, para wisatawan juga tidak boleh melewatkan sebuah kuburan yang ada
di ke’te kesu. Kuburan yang ada di Toraja, terbagi atas beberapa jenis. Ada
yang disebut dengan kuburan gantung, yang dimana peti orang yang telah
meninggal digantung di atas sebuah tebing batu dengan disanggah oleh kayu yang
sangat kuat. Peti yang digunakan cukup unik. Petinya terbuat dari kayu dan
berbentuk seperti lesung atau tempat menumbuk padi yang panjang seperti perahu,
dan bagian penutupnya berbentuk seperti atap dari rumah tongkonan, kemudian ada
yang disebut dengan dengan kuburan batu. Orang yang meninggal, pertama- tama
dibuatkan sebuah lubang secara mendatar yang berukuran 1x1,5 meter di atas
tebing batu yang dalamnya biasanya disesuaikan. Orang yang telah meninggal dan
dikuburkan pada kuburan batu tidak dimasukkan ke dalam peti, melainkan dililit
oleh kain sangat cukup tebal. Biasanya disebut di balun oleh masyarakat Toraja.
Orang yang biasanya dikuburkan dengan cara itu hanya dimasukkan ke dalam lubang
kuburan batu.
Dan yang terakhir adalah patane. Patane
adalah sebuah kuburan yang berbentuk seperti rumah kecil dan memiliki pintu
yang biasanya ukurannya disesuaikan. Orang yang dikuburkan ke dalam patene
terlebih dahulu dimasukkan ke dalam peti. Ada peti yang berbentuk segi empat
dan ada yang berbentu bundar dan diukir dengan ukiran Toraja. Ada juga yang
polos. Semua jenis kuburan Tersebut ada di Ke’te Kesu.
Keindahan tempat wisata ini sangat luar
biasa. Dimulai dari Tongkonan, alang, kuburan, dan tidak ketinggalan,
pemandangan alam yang masih menarik membuat tempat ini semakin indah.
viii.
Londa
Londa merupakan salah satu objek wisata yang paling
popular di Tana Toraja. Hampir setiap saat tempat ini dikunjungi oleh wisatawan
domestik maupun mancanegara dari berbagai belahan dunia. Keunikan budaya
masyarakat Tana Toraja menjadikan Londa sebagai objek wisata yang menantang.
Hal ini disebabkan karena Londa menyimpan banyak mayat dari berbagai usia dan
status sosial dalam masyarakat Tana Toraja.
15
menit perjalanan melalui Rantepao ke arah Makale terdapat Londa. Kawasan yang
juga wisata pekuburan itu bahkan lebih besar dari pada Kete Kesu .Objek wisata Londa terletak di desa Sandan Uai
yang berjarak kurang lebih 6 km dari arah selatan Rantepao.
Gambar 2.3.3.8.1 “Peta lokasi Londa”
Londa berwujud sebuah tempat pemakaman dari
bebatuan kapur dimana terdapat banyak deretan tau-tau di sepanjang dinding
bukit, tulang dan tengkorak serta erong di dalam dinding goa. Goa Londa sendiri
panjangnya mencapai kurang lebih 1000 meter sehingga untuk masuk ke dalamnya
dibutuhkan nyali yang cukup besar karena suasananya yang menegangkan di mana
hampir di sepanjang dasar dinding goa terdapat tulang dan tengkorak kepala
manusia yang berserakan. Karena di dalam goa tidak terdapat fasilitas
penerangan maka anda harus membawa sendiri peralatan seperti senter dan lampu
minyak tanah, kalaupun tidak punya anda dapat menyewanya dari penduduk yang biasanya
mangkal di mulut goa.
Londa
merupakan sebuah gua alam yg difungsikan sebagai salah satu kuburanyang telah
berumur ratusan tahun, tetapi tetap masih di fungsikan hingga sekarang, hal ini
terbukti masih banyak nya peti mati baru terlihat masih utuh dan bagus serta
tertulis tahun kematian nya th 2010 yg di letak kan di dalam gua tersebut.
Gambar 2.3.3.8.2 “Peti baru”
Goa
Londa adalah kuburan pada sisi batu karang terjal , salah satu sisi dari
kuburan itu berada di ketinggian dari bukit mempunyai gua yang dalam dimana
peti-peti mayat di atur dan di kelompokkan berdasarkan garis keluarga. Menurut adat Tana Toraja, setiap jenasah di Goa
Londa yang dimakamkan melalui upacara adat tertinggi akan dibuatkan replikanya
dalam bentuk patung yang dinamakan tau-tau lengkap dengan pakaian adat
Toraja sedangkan mayatnya disemayamkan dalam peti mati khas yang disebut erong.
Gambar 2.3.3.8.3 “Tau-tau”
Seringkali
juga pada tau-tau disertakan benda kesayangan dari sang mendiang, seperti
makanan, rokok dan sebagainya. Posisi erong pun dibedakan menurut status
sosialnya. Semakin tinggi letak erong pada dinding gua semakin tinggi pula
status sosialnya di masyarakat Tana Toraja. Masyarakat
Toraja percaya bahwa orang yang meninggal dapat membawa hartanya ke kehidupan
setelah mati. Inilah salah satu alasan mengapa mereka mengubur peti-peti mati
di tempat-tempat yang tinggi. Selain untuk melindungi harta yang ikut dikubur,
mereka juga percaya bahwa semakin tinggi letak peti mati maka semakin dekat
perjalanan roh yang meninggal menuju tempatnya setelah mati (nirwana).
Gambar 2.3.3.8.4 “Kuburan bangsawan”
Goa Londa merupakan salah satu tempat sakral di
antara berbagai objek wisata lainnya di Tana Toraja. Oleh karena itu, sebelum
memasukinya para pengunjung dianjurkan untuk membawa sesajian sebagai
permohonan izin, seperti pinang, sirih, serta bunga. Selain itu, anda tidak
diperkenankan untuk mengambil ataupun mengubah posisi mayat, tulang, tengkorak,
erong dan tau-tau.
Gua
Londa memiliki kisah romantik Romeo-Juliet versi Toraja. Dikisahkan, ada
sepasang kekasih yang dilarang berhubungan oleh keluarganya masing-masing karena
masih berhubungan darah dan kemudian bunuh diri. Kisah bunuh diri mereka ada
dua versi. Versi pertama mengatakan mereka terjun dari tebing, tapi ada yang
mengatakan mereka menggantung diri. Di gua Londa, tulang belulang sepasang
kekasih ini diletakkan berdekatan.
Gambar 2.3.3.8.5 “Rpmeo N Juliet versi Toraja”
Orang
pacaran tidak boleh berfoto didekat tengkorak ini, bisa putus kata orang-orang
setempat. Believe it or not??? silahkan dicoba..!
ix.
Bamba Puang
Bambapuang adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Anggereje
Kabupaten Enrekang Propinsi Sulawesi Selatan . Desa ini memiliki luas daerah
1,489 km² dengan jumlah penduduk menurut data sensus 2008 sebanyak ± 3.117 jiwa
dengan pembagian 1.546 laki laki dan 1.571 perempuan ,dari jumlah penduduk
tersebut kelompok yang masih produktif dengan patokan umur adalah antara 19 s/d
50 tahun dengan jumlah 1.040 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 21 jiwa
km². Batas Wilayah Desa Bambapuang yakni sebelah utara berbatasan dengan Desa
Mandate, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Tuara, sebelah barat
berbataan dengan Desa Tindalun dan sebelah timur berbatasan dengan Desa
Rossoan. Desa Bambapuang terletak pada ketinggian 500 mdpl jarak tempuh dari
desa ke kecamatan sekitar 12km.
Bambapuang bersebelahan dengan Gunung Nona dan Sungai Sa’dan. Sehingga
di lirik oleh pemerintahan setempat untuk dijadikan objek wisata dengan cara
membuat 1000 tangga, menurut warga di sana bambapuang berarti tangga raja konon
kata warga di sana bambapuang itu merupakan sebuah tangga yang menjulang tinggi
hingga kelangit jadi di sana di gunakan sebagai media untuk menyampaikan wahyu
dari yang di atas untuk penduduk di bumi. Pada suatu hari ada seorang raja yang
mempunyai sepasang anak laki laki dan perempuan yang rupawan. Pada suatu hari
si pangeran meminta kepada ayahnya untuk dinikahkan dengan anak adiknya karena
dia tidak mau menikah selain dengan adiknya. Raja pun menyuruh sang pengantar
Wahyu untuk menanyakan kepada Tuhan apakah itu diperbolehkan?. sang pengantar
wahyu membuat kesalahan dengan menyelewengkan isi wahyu tersebut, dia
mengatakan bahwa Tuhan mengizinkannya. Jadi Tuhan murka sehingga ditendangnya
tangga itu hingga robohlah tangga itu kearah timur jadi sampai sekarang dari
bambapuang hingga toraja tanahnya berbatuan. Jadi mulai dari situlah tanah
disana berbatuan.
Buttu
kabobong atau gunung nona adalah gunung yang terletak di kecamatan Anggeraja
kabupaten Enrekang yang memiliki bentuk unik dan eksotis. Cerita Gunung Nona
ini diawali dari sebuah kerajaan di Kabupaten soppeng yang masyarakatnya makmur
dan sejahtera dibawah pimpinan raja yang amat bikak.
Gambar 2.3.3.9 “Gunung
Nona”
Raja ini memiliki puteri tunggal yang cantik jelita. Kehidupan sang
raja terbina dengan baiuk dan terkenal memengan erta adat istiadat di tanah
Soppeng. Setelah dewasa sang puteri secara adat akan di nikahkan dengan paneran
dari tanah suppa, tetpanya di kerajaan suppa. Pangeran ini adalah sahabat dari
raja Soppeng. Ia satu-satunnya pewaris tahta kerajaan.
Kedua orang tua mereka sepakat untuk menikahakn anak-ankanya. Apalagi pada saat itu, aturan yang berlaku untuk pernikahan adalah aturan orang tua. Rencana ini ternyata tidak diketahui oleh sang puteru raja Soppeng, kedua orang tua mereka berkinginan untuk melangsungkan pernikahan lebih cepat.
Tak lama rencana pernikahan ini diketahui sang puteri ia bingung sendiri dengan maksud orang tuanya. Ia akan dinikahkan dengan pangeran yang sama sekali belum pernah dilihat atau dikenal.
Kedua orang tua mereka sepakat untuk menikahakn anak-ankanya. Apalagi pada saat itu, aturan yang berlaku untuk pernikahan adalah aturan orang tua. Rencana ini ternyata tidak diketahui oleh sang puteru raja Soppeng, kedua orang tua mereka berkinginan untuk melangsungkan pernikahan lebih cepat.
Tak lama rencana pernikahan ini diketahui sang puteri ia bingung sendiri dengan maksud orang tuanya. Ia akan dinikahkan dengan pangeran yang sama sekali belum pernah dilihat atau dikenal.
Sebenarnya ia merasa tidak mengerti tujuan sang raja untuk
menikahkannya dengan oerang yang ia tak kenal. Sang puteri merasa paham dengan
proses perniakahan. Pernikahan akan di langsungkan jika keduanya telah saling
mengenal satu sama lainya. Bukankah pernikah adalah sesuatu hal yang sakral?
Namun sang puteri tetap harus menjaga nama baik kerajaan. Apalagi
hal itu adalah keputusan sang raja yang tak lain adalah orang tuanya sendiri.
Selain itu masyarakat soppeng dan supa berannggapan adat adalah tolak ukur
tinggi rrendahanya harga diri kerajaan di mata Deawa. Melaksanakan perintah
orang tua/putuisan raja termaksduk menikhakan anaknya adalah adat yang tiadak
boleh di tentang. Jika adat ditentang dewa akan murka dan memberikan kutukan.
Keadaan ini m,embuat sang puteri semakain terpukul ingin rasanya menjealasakan keapada raja tentang pernikahan itu. Ia tak dapat menerka bagaimana kehidupan mereaka setelah menikah. Seharunya sang raja memikirkan perasan puterinya belum lagi sang puteri merasa belum memilki pengalamaman yang cukup untuk berumha tangga.
Keadaan ini m,embuat sang puteri semakain terpukul ingin rasanya menjealasakan keapada raja tentang pernikahan itu. Ia tak dapat menerka bagaimana kehidupan mereaka setelah menikah. Seharunya sang raja memikirkan perasan puterinya belum lagi sang puteri merasa belum memilki pengalamaman yang cukup untuk berumha tangga.
Proses pernikahan tidak lama akan dilangsungkan. Sementera sang
puteri yang terkenal cantik, cerdas dan bijak hanya merenung di kamarnya.
Sesekali dengan tatapan kosong ia menatap keluar melalui jendela. Ada rasa
gundah yang yang terus menghantui sang puteri tap[u dia merasa tak berdaya
untuk bertindak.
Ternyata keadaan sang puteri diperhatikan sang ibu. “mengapa engkau
selalu termenung dan hanya mengurung diri?” Tanya ibunya dengan lembut. “kamu
adalah darah dangingku. aku tahu ada yang risaukan anakku!” lanjutnya lagi.
Namum sang puteru diam memdengar pertanyaan ibunya “katakanlah……apa masalahmu
anakku?”. “mengapa saya harus di nikahkan dengan orang yang asya tidak kenala
ap[alagi pilihan ayah dan ibu?”, jawab sang puteri”bukankah yang makan
menjalani hidup adalah saya bukan ayah atau ibu”
Memdengar jawaban sang puteri ibunya kaget. Ternyata buah hatinya telah berpikir lebih jauh dan dewasa. Pernyataan anaknya memang benar dan hal itupun ia bicarakan dengan suaminya sebelunya namun. Mereka tak dapat berbuat banyak karena hal tersebut adalah simbol meningkatnya derajat kerajan Soppeng
Rencana pernikahan ini semakin dekat. Berita pernikahan puteri raja soppeng dengan pangeran raja suppa telah tersiar di masyarakat. Pesta direncanakan akan berlangsung slama tujuh hari tujah malam dengan berbagai jenis makan, berbagai macam hiburan rakyat. Sementara perasaan sang puteri semakin meronta.
Satu hari sebelum pesta dilangsungkan, diadakan malam mappacci untuk sang puteri.Setalah proses mappacci pada malm itu, seisi istana sangat kelelahan sehingga mereka tertidur lelap. Keadaamn ini dimamfaatkan sang puteri. Ia tak sanggup menjalankan proses pernikahan sehingga ia memutuskan untuk pergi. Dengan bantuan pelayannya ia melarikan diri melalui jendela tepat sebelum ayam berkokok. Rencanaya ia akan berlari kerah utara soppeng.
Pagipun tiba, iring-iringaNdari kerajaan Suppa mulai terdengar puluhan kuda dan pariasi lainya mengiringi perjalan pangeran raja suppa menuju soppeng. Sementara di istana soppeng tengah sibuk menpersiapkan seremoni pernikah. Ada yang mengurus perlengkapan, ada yang mengurus makanan dan ada yang mengurus busana sang puteri. Ibunyapun mulai mengetuk pinti kamar sang puteri namun taka ada jawaban. Ibu memanggil pelayan istana untuk membuka pintu kamara sang p[uteri. Setelah terbuka ibunya kecewa, sosok puterinya telah menghilang.
Berita perginaya sang puteri meninggalakan istana telah terseba kemana-mana raja soppeng merasa malu dan harga dirinya terinjak-injak. Apalagi penyebabnya adalah darah dangingnya sendiri. Ia berjanji tidka akan memaafkan anaknya bahkan akn membunuhnya karena dianggap telah mencoreng nama kerajaan. Sang raja memanggil semua tokoh, dukun dan prajurit kerajaan mereka ditugaskan untuk mencarai sang puteri melalui empat penjuru mata angin.
Memdengar jawaban sang puteri ibunya kaget. Ternyata buah hatinya telah berpikir lebih jauh dan dewasa. Pernyataan anaknya memang benar dan hal itupun ia bicarakan dengan suaminya sebelunya namun. Mereka tak dapat berbuat banyak karena hal tersebut adalah simbol meningkatnya derajat kerajan Soppeng
Rencana pernikahan ini semakin dekat. Berita pernikahan puteri raja soppeng dengan pangeran raja suppa telah tersiar di masyarakat. Pesta direncanakan akan berlangsung slama tujuh hari tujah malam dengan berbagai jenis makan, berbagai macam hiburan rakyat. Sementara perasaan sang puteri semakin meronta.
Satu hari sebelum pesta dilangsungkan, diadakan malam mappacci untuk sang puteri.Setalah proses mappacci pada malm itu, seisi istana sangat kelelahan sehingga mereka tertidur lelap. Keadaamn ini dimamfaatkan sang puteri. Ia tak sanggup menjalankan proses pernikahan sehingga ia memutuskan untuk pergi. Dengan bantuan pelayannya ia melarikan diri melalui jendela tepat sebelum ayam berkokok. Rencanaya ia akan berlari kerah utara soppeng.
Pagipun tiba, iring-iringaNdari kerajaan Suppa mulai terdengar puluhan kuda dan pariasi lainya mengiringi perjalan pangeran raja suppa menuju soppeng. Sementara di istana soppeng tengah sibuk menpersiapkan seremoni pernikah. Ada yang mengurus perlengkapan, ada yang mengurus makanan dan ada yang mengurus busana sang puteri. Ibunyapun mulai mengetuk pinti kamar sang puteri namun taka ada jawaban. Ibu memanggil pelayan istana untuk membuka pintu kamara sang p[uteri. Setelah terbuka ibunya kecewa, sosok puterinya telah menghilang.
Berita perginaya sang puteri meninggalakan istana telah terseba kemana-mana raja soppeng merasa malu dan harga dirinya terinjak-injak. Apalagi penyebabnya adalah darah dangingnya sendiri. Ia berjanji tidka akan memaafkan anaknya bahkan akn membunuhnya karena dianggap telah mencoreng nama kerajaan. Sang raja memanggil semua tokoh, dukun dan prajurit kerajaan mereka ditugaskan untuk mencarai sang puteri melalui empat penjuru mata angin.
Prajurit yang mencari kearah utara menemukan sang puteri tapi sang
puteri tidak sendirian. Ia bersama dengan seorang laki-laki dari tanah
massemrepulu yang bernama Tandu Mataranna Enrekang Laki Barakkanna Puang.
Lelaki ini mengatakan kepada prajurit bahwa tidak ada yang dapat menyentuh sang
puteri jika ia masih hidup. Mel9ihat badan lelaki yang besar menbuat prajurit
mundur. Keadaan ini disampaikan kepada sang raja. Raja mengutus penghulu
bnersama prajurit dari tanah soppeng. Penghulu diutus sebagai penegah antara
prajurit dan lelaki dari tanah massemrenpulu. Setelah melalui perundingan
panajang, penghulu berhasil menbuat kesepakatan. Sang puteri akn di bawa ke
Soppeng tetapi prajurit berjanji akan mengembalikan puteri dalam keadaan
bernyawa. Namun, salah satu dari prajutit ingkar janji. Ia menebas badan puteri
dari belakang, saat penghulu, dan Tandu Mataranna berunding. Sekejab, Tandu
Mataranna menjadi marah dan membabi buta semua prajurit yang ada di tempat itu.
Sementara badan sang puteri terbagi dua. Bagian pusat hingga kepala
jatuh dan terbawa arus sungai Mata Allo. Konon, arus sungai ini tidak melewati
soppeng karena merupakan tempat kelahiran sang puteri. Sedangkan bagian bawa
pusat dalam keadaan terlentang dan tetap berada di daerah tersebut. Bagian bawa
inilah yang menjadi gunung nona di Anggeraja.
mitos masyarakat setempat menjadikan gunung nona dan gunung bambapuang sebagai tempat pertapaan bagi pasangan yang akan menikah. Laki-laki bertapa selama tujuh hari tujuh malam di gunung bambapuang dan perempuan di gunung nona. Konon, pasangan ini akan memperoleh petunjuk tentang pinagan mereka masing-masing.
mitos masyarakat setempat menjadikan gunung nona dan gunung bambapuang sebagai tempat pertapaan bagi pasangan yang akan menikah. Laki-laki bertapa selama tujuh hari tujuh malam di gunung bambapuang dan perempuan di gunung nona. Konon, pasangan ini akan memperoleh petunjuk tentang pinagan mereka masing-masing.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menanggung
derita bersama merupakan
kewajiban moral masyarakat
Toraja dan upacara
pemakaman tetap penting
untuk tujuan itu. Karena
pentingnya makna sosial
politik, tidak ada
tanda-tanda kebiasaan itu
akan punah.
Penetapan Harga Jual Kerbau di Pasar
Hewan Bolu Kecamatan Tallunglipu Kabupaten Toraja Utara dengan tiga karakteristik
kerbau yaitu tanduk, warna, dan letak pusaran bulu.
Toraja sendiri memiliki sejarah-sejarah yang begitu unik. Ini dapat
kita lihat dari tempat-tempat wisatanya, seperti:
1. Wisata tongkonan di Palawa’
2. Panorama alam di batutumonga
3. Daerah sekitaran deri’
4. Kalimbuang di Bori’
5. Ke’te’ Kesu’
6. Londa
B.
Saran
1.
Diharapkan agar laporan
ini dapat dijadikan sebagai media informasi bagi masyarakat dan bagi mahasiswa
pada khususnya, serta bagi orang-orang yang membutuhkan informasi data tentang budaya Toraja.
2. Diharapkan
agar literatur tentang Geografi Budaya
lebih diperbanyak lagi.
3. Diharapkan
agar dalam mendapatkan data lebih teliti lagi sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayah, Zulyani.
1996. Ensiklopedia
Suku Bangsa di
Indonesia. Jakarta:LP3ES
Inc, Grolier
International. 2003. “Agama
dan Upacara”, dalam
Indonesian Heritage @edisi
Bahasa Indonesia. Jakarta:
Buku Antar Bangsa